Selasa, 20 Oktober 2009

Blog, salah satu tempatku beraktualisasi diri

Menulis itu asik buatku. Aku sadar, aku ini mudah lupa dan melupakan. Apa yang kupikirkan, kurenungkan, kurasakan, kugumulkan minggu lalu, belum tentu kuingat hari ini. Aku menolong diriku sendiri untuk memperpanjang daya ingatku dengan menuliskan pikiran, renungan, perasaan, pergumulanku. Saat aku membaca ulang tulisanku, daya ingatku menjadi lebih panjang lagi. Karena itulah blogku ini menjadi penting bagiku dengan 'keabadiannya' di dunia fana ini. Bebas rayap, bebas tinta luntur, bebas berkerut karena kena banjir, bebas robek, bebas kebakaran.

Ada kepuasan yang muncul setiap kali selesai memasukkan tulisan di blog ini. Ada pikiran dan rasa yang telah tercurahkan dalam kata-kata dan terabadikan dalam blog ini. Sewaktu-waktu akan menolongku mengingat kembali pikiran dan perasaan yang pernah muncul.

Berpikir, merenung, menulis.... lalu tersimpan dalam catatan yang dapat dibaca kapan saja memang melegakan. Kalau kemudian tulisanku dibaca orang lain.... patut disyukuri. Bila ternyata menjadi informasi yang berguna atau malah menginspirasi orang lain...wow! Itu bonus buatku. Artinya aku menjadi bermakna bagi orang lain.

Dulu ketika pengetahuanku tentang internet baru sebatas email sebagai alat bertukar informasi, aku mengirimkan tulisanku ke redaksi sebuah harian ibukota. Saat-saat melihat tulisanku dimuat, menerima respons melalui email yang diteruskan padaku, menerima honor yang besarnya sama dengan pendapatanku sebulan sebagai praktisi kedokteran gigi, adalah saat-saat yang tidak terlupakan. Aku menjadi bermakna bagi orang lain dan bagi diriku sendiri. Namun tidak mudah mengulagi pengalaman seperti ini. Tidak mudah menembus seleksi redaksi, apalagi koran dengan oplah besar. Karena itu melihat tulisanku dimuat di media tidak menjadi obsesiku.

Ada lagi pengalaman unik menulisku. Tulisanku pernah dimuat di sebuah tabloid yang kukira cukup besar oplahnya karena berada di bawah manajeman sebuah televisi swasa nasional. Kali ini inisiatif menulis bukan berasal dariku. Seorang wartawan tabloid ini membuat janji, melalui manajer pemasaran rumah sakit tempatku bekerja,untuk melakukan wawancara. Hingga saat yang dijanjikan, wartawan tidak datang. 2 minggu kemudian, ada memo dari manajer pemasaran yang berisi daftar pertanyaan yang diajukan oleh wartawan. Karena tidak jelas kapan wartawan akan datang, aku berinisiatif untuk menuliskan jawabanku. Ternyata memang akhirnya aku tidak pernah bertemu dengan wartawan itu. Rupanya tanpa bertemu, wawancara dianggap selesai oleh sang wartawan. Tidak lama, aku menerima email dari sang wartawan yang meminta fotoku. Kukirim fotoku, juga melalui email. Setelah itu tidak ada kabar berita, tidak ada ucapan terimakasih dari wartawan, tahu-tahu seorang temanku memberitahuku tentang tulisanku yang dimuat di tabloid dalam kolom konsultasi yang memajang fotoku. Ck...ck...ck... rupanya itulah gaya jurnalisme jaman internet! Tanpa perlu tatap muka, basa basi, apalagi honor!

Dua pengalaman di atas membuatku yakin, menulis di blog itu jauh lebih berarti bagiku. Aku bisa menulis apa saja yang kuinginkan, tidak perlu menembus sensor orang lain. Aku bisa menulis tanpa perlu merasa dilecehkan. Aku bisa menulis dan menghargai sendiri tulisanku. Aku memang tidak memerlukan penghargaan dari orang lain atas tulisannku. Karena blogku adalah tempatku beraktualisasi. Di sinilah aku menyatakan diriku.

Minggu, 27 September 2009

Gaptek

Bicara soal gagap teknologi (gaptek), kebanyakan orang mengkaitkannya dengan ketertinggalan seseorang dalam teknologi komputer. Hari ini dan beberapa hari terakhir aku berjumpa dengan beberapa kekonyolan gara-gara gaptek.

Ada sebuah klinik kecil dengan beberapa ruang pelayanan. Untuk mempermudah pencatatan dan pelaporan tindakan medik, disediakanlah 2 perangkat komputer. Yang pertama diletakkan di ruang pendaftaran pasien, yang kedua diletakkan di ruang apotik. Tidak lama setelah kehadiran komputer ini, muncul masalah. Ada ketidakcocokan antara jumlah pasien yang datang dengan jumlah pelayanan yang diberikan dan dengan jumlah obat yang dikeluarkan. Semua diakibatkan oleh kebingungan operator komputer yang baru pertama kali bersentuhan dengan komputer. Yang menggelikan adalah solusinya. Demi menolong operator ini, ada pekerjaan ekstra yang lebih berbelit serta memboroskan kertas dan tinta yang harus dilakukan untuk menginput data ke dalam komputer.
Kupikir... teknologi komputer seharusnya menolong manusia. Namun gagap teknologi memutarbalikkannya, manusia diperbudak oleh teknologi komputer.

Ada sebuah tempat kebaktian, tempat orang bersekutu, dibuat besar dan megah, tanpa mempertimbangkan masalah akustik dan semangat kebersamaan. Teknologi sound system yang canggih dibuat agar suara pemimpin kebaktian dapat didengar oleh jemaat. Saat sound system rusak, suara pemimpin kebaktian yang berteriakpun tidak bisa didengar, bahkan oleh pengunjung yang duduk di tengah ruangan.
Kupikir.... orang menjadi gagap teknologi karena teknologi dipakai untuk menggantikan, bukan untuk menolong dan menghidupkan tradisi. Akibatnya saat teknologi tidak berfungsi, terasa sekali tradisi kebersamaan yang seharusnya ada dalam kebaktian ternyata memang sudah tidak ada di tempat itu.

Masih di tempat yang sama. Tempat yang besar dan megah tentunya akan semakin canggih jika difasilitasi oleh perangkat LCD. Semua informasi ditayangkan melalui LCD, termasuk teks lagu dan petunjuk kapan harus berdoa, membaca Alkitab, berdiri atau duduk, bahkan lafal pengakuan iman yang sudah melekat di otak. Pengkhotbah yang dianggap bagus adalah yang mampu memvisualisasikan bahan khotbanya melalui media power point. Saat operator komputer sedikit terlambat membalik halaman teks lagu, maka tak ada yang dapat bernyanyi. Saat terjadi gangguan pada LCD atau komputer, maka jemaatpun bingung harus berdiri atau duduk dan lupa bahwa ini adalah respon yang sangat alamiah dan seharusnya tidak perlu diperintahkan oleh LCD. Saat komputer terkena virus, barulah terasa bobot sesungguhnya sang pengkhotbah.
Kupikir.... teknologi komputer membuat orang yang gagap teknologi menjadi robot tak bernyawa, tidak wajar dan kehilangan kreativitas.

Di sebuah klinik gigi tersedia dental unit dengan teknologi modern. Semua terkomputerisasi. Untuk menaik-turunkan bangku, sandaran bangku cukup dengan menekan satu tombol. Dari 4 perangkat mesin pemutar bor yang berjajar di meja, hanya satu yang akan berfungsi yaitu yang diangkat dari soketnya. Selama mesin pemutar masih berada di dalam soketnya, meski dihidupkan, mesin tidak akan memutar bor. Sangat efektif dalam segi keamanan. Dengan sensor optikal, saluran air hanya akan mengeluarkan air kalau ada gelas kosong di bawahnya. Sangat efisien dalam penggunaan air. Masalah muncul saat terjadi kebocoran angin dari kompresor ke dental unit. Fungsi komputer sama sekali berhenti bekerja. Bahkan lampu tidak dapat dinyalakan. Tidak ada satu pasienpun yang dapat dilayani gara-gara tikus yang iseng menggigit selang angin.
Kupikir.... teknologi seharusnya tidak membuat manusia kalah terhadap makhluk lain. Namun tikus ternyata mampu membuat orang menjadi gaptek.

Saat pertama kali mengenal surat elektronik 12 tahun yang lalu, aku sudah cukup terlambat. Namun aku mensyukuri karena teknologi ini betul-betul mendekatkanku pada kakakku yang tinggal jauh di belahan dunia lain. Komunikasi menjadi lebih mudah dan irit waktu, meski saat itu koneksi internet masih menggunakan sistem dial-up. Banyak kemudahan lain kutemukan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi hingga saat ini. Hingga terakhir, muncul teknologi blackberry. Semakin banyak orang yang menjadi tertolong untuk mengakses internet dengan alat ini, termasuk ibu-ibu rumah tangga yang sebelumnya dianggap dan mengaku gaptek. Mailing list semakin ramai dengan kehadiran milister pengguna blackberry. Muncul rekor posting beberapa bulan terakhir. Puluhan, bahkan ratusan posting dalam sehari. Sayangnya sebagian besar posting ternyata tidak berbobot, kadang-kadang hanya berisi tulisan "wkwkwk..." (maksudnya menggambarkan bunyi tertawa, meskipun kalau dibaca lebih mirip suara bebek) untuk menanggapi posting sebelumnya yang berisi lelucon 1 baris. Banyak milister lain yang masih menggunakan sistem dial-up mengalami kemacetan dalam mengirim dan menerima email karena padatnya lalulintas email. Yang lain kehilangan email penting karena terselip di antara email-email kripik itu (rame saat dikunyah namun tak bergizi).
Kupikir... gagap teknologi menjadi menular bahkan kepada orang yang sebelumnya tergolong atau menganggap dirinya melek teknologi. Rancu, sesungguhnya yang gaptek itu milister pengguna blackberry atau milister dengan sistem dial-up?

Teknologi dibuat untuk menolong agar kerja manusia menjadi lebih mudah, lebih teliti, lebih menjangkau bagian yang tidak terjangkau secara manusiawi, lebih mencakup dimensi yang lebih luas. Gagap teknologi bukan hanya menjangkiti orang yang tidak mengikuti perkembangan teknologi, tapi juga orang yang mengikuti namun meninggalkan segi kemanusiaannya.

Senin, 31 Agustus 2009

Nasi uduk hijau


Sudah biasa dengan nasi uduk yang putih, kemarin kebetulan ada waktu, aku mencoba mencampur santan dengan pohcai yang diblender. Larutan inilah, dicampur dengan bumbu nasi uduk lainnya, yang kupakai untuk menanak nasi uduk. Untuk memberi rasa yang khas nasi uduk hijau, aku menggunakan banyak daun jeruk. Sewaktu masih diaron, warna hijaunya bagus seperti sayur segar. Tapi setelah dikukus, warnanya lama kelamaan pudar, dan menjadi agak kekuningan, seperti warna sayur yang terlalu lama dimasak. Tapi lumayan, masih cukup menarik untuk disajikan. Disajikan bersama tumis tahu, sambel goreng kering kentang, sambal goreng telur puyuh dan kentang, krupuk udang dan emping. Sesuatu yang berbeda.

Kupikir...
Lain kali, untuk menbuat warna hijau, aku akan menggunakan daun suji saja.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Waria dan perempuan di Thailand

Hampir semua orang pernah mendengar tentang kontes waria yang diselenggarakan di Thailand. Kalau melihat foto-foto mereka di missladyboy.com , tentu banyak yang mengakui kecantikan dan keanggunan mereka.

Tampaknya, ladyboy, istilah yang menunjuk pada waria, di Thailand adalah hal yang biasa. Artinya sebagai gender ketiga, mereka hidup berdampingan dengan gender yang lainnya. Mereka bekerja di banyak sektor dan terlihat wajar-wajar saja. Mereka tidak tampak salah tingkah dan tidak dituding-tuding atau diasingkan oleh sekitarnya. Mereka hadir sebagai orang biasa, meskipun berbeda dengan yang lain. Keberbedaan yang diterima sebagai hal yang biasa.

Dalam kunjuganku selama 2 minggu, cukup sering aku menjumpai mereka. Mereka hadir sebagai resepsionis hotel, petugas kebersihan, juga kenek perahu. Mereka memang sesama manusia dan seharusnya diperlakukan seperti manusia umumnya. Sesuatu yang sulit bagi masyarakat yang bahkan untuk memperlakukan perempuan sebagai manusia biasa saja, sulit.

Soal sikap terhadap perempuan. Alangkah nyamannya berjalan-jalan di kota Ao Nang atau Koh Tao atau kota-kota pantai lainnya di Thailand setelah bermain di laut seharian tanpa disibukkan dengan urusan ganti pakaian. Tidak ada sorotan mata iseng, tidak ada pandangan sinis, tidak ada siulan iseng. Saat menikmati jalan-jalan seperti ini, aku membandingkannya pada ketidaknyamanan duduk di angkot di kota Tangerang. Inilah salah satu sebab aku tidak menyukai kostum rok. Di halte-halte liar tempat angkot ngetem, banyak laki-laki muda berjongkok yang sudah siap dengan mata yang mengarah setinggi tempat duduk angkot. Mata liar yang berasal dari pikiran yang tidak menghargai perempuan sebagai sesama manusia. Mata liar yang berharap menjumpai perempuan memakai rok mini. Mata yang bertengger di kepala yang akan berjuang keras menundukkan serendah mungkin bila menjumpai perempuan memakai rok sedikit lebih panjang dari lutut. Kepala yang pikirannya memandang perempuan hanya sebagai obyek.

Bagaimana terhadap waria.... ?

Rabu, 15 Juli 2009




Kupikir......
bengkak di kaki kanan bekas tergelincir di jurang yang belum kempis sempurna ini sama seperti bengkak akibat gigitan lalat sapi 17 tahun yang lalu. Bengkak di tempat yang sama, keras yang sama, gatal yang sama.....







Jumat, 03 Juli 2009

BERDEKATAN DENGAN KEMATIAN

Ada hubungan antara luka di kakiku, seperti yang terlihat di foto ini, dengan kedekatanku dengan kematian. Bukan....., bukan luka ini yang menyebabkan aku dekat dengan kematian. Luka ini terjadi pada tanggal 23 Juni 2009, kira-kira pukul 11.00. Hari itu adalah hari ke9 cuti kami sekeluarga. Saat itu kami berada di sekitar air terjun Hin Lat, Pulau Samui - Thailand. Nama pulau yang mungkin asing bagi orang Indonesia, karena memang tempat ini tidak menjadi tujuan wisata orang-orang Indonesia, tapi menjadi pilihan kami karena memang menarik bagi kami.

Air terjun Hin Lat sebetulnya biasa saja, tidak setinggi dan sebesar air terjun Cibeureum atau Grojogan Sewu, misalnya. Bedanya, tempat ini sepi dan bersih. Saat itu hanya ada 2 orang lain selain kami bertiga.

Saat kami menyusuri jalan turun untuk kembali ke bawah, tibalah kami pada tempat berpijak bersejarah itu. Sepersekian detik sebelum aku menapakkan kaki kananku di situ, terlintas di pikiranku .... sepertinya aku akan terpeleset jika aku menapak di situ. Dan terjadilah yang kupikirkan itu. Tidak ada waktu untuk membatalkan langkah kakiku.

Aku terpeleset dan dalam hitungan detik, aku terperosok ke dalam jurang! Aku merasakan tubuhkan meluncur, berguling, terbanting dan berputar tanpa mampu menahan..... hingga kepalaku sudah berada lebih rendah daripada kaki dan membentur batu. Saat itulah, seperti ada yang menahan, pergerakan tubuhku mengikuti gravitasi bumi tiba-tiba terhenti. Yang pasti bukan gesekan dinding jurang yang hanya pasir melulu.

Secara refleks, aku berusaha mengembalikan posisi kepalaku kembali di atas dengan menumpu tanganku pada dahan yang melintang di depan dadaku. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian mencari-cari tempat keras untuk menapak. Nyaris tidak ada, semuanya pasir! Ada sebongkah batu seukuran setengah telapak kaki yang menonjol di antara tumpukan pasir. Di sanalah sementara aku bertumpu.

Setelah agak stabil, aku melihat di sekitarku, ke atas, ke bawah ..... hanya pasir dan beberapa ranting pohon dan sedikit batu menonjol. Di bawahku ada aliran sungai dengan batu-batu besar, letaknya mungkin sekitar 5 atau 6 meter dari tempatku berada. Selintas terpikir olehku, inilah akhir hidupku. aku tidak akan lama berdiri stabil dan akan jatuh ke sungai dan kepalaku membentur batu-batu kali yang akan memecahkan kepalaku. Saat itu aku merasa dekat sekali dengan kematian.

Cukup selintas saja. Tidak ada waktu untuk bergidik. Setelah itu aku bertekad untuk menyelamatkan diriku. Ditambah suara guru hebatku di atas sana, semangatku untuk kembali ke atas bertumbuh.

Sempat terpikir olehku saat itu, mengapa guru hebatku hanya berteriak-teriak saja di atas memberi petunjuk, bukannya turun untuk membantuku naik. Rasa kesal karena tidak dibantu, ditambah semangatku untuk bergerak naik menjadi vitamin berenergi yang menambah tenagaku untuk bergerak ke atas. Dalam keadaan normal, bahkan untuk mendorong tubuhku dari air sedalam 1,5 meter untuk duduk ke pinggir kolam renang, aku sering tidak mampu! Dan kali ini aku harus memanjat setinggi 5 meter untuk mencapai jalan setapak!

Setelah tiba di atas, aku baru menyadari bahwa jurang itu betul-betul curam, hampir 90 derajat. Pantaslah guru hebatku tidak bisa membantuku.

Rupanya aku diselamatkan oleh lilitan beberapa ranting pohon pada kaki kananku. Tahanan ranting pada selangkanganlah yang menghentikan luncuranku. Aku baru menyadari kehadiran ranting-ranting itu ketika aku harus membebaskan diriku dari lilitannya pada saat berusaha memanjat ke atas.

Perlahan-lahan aku meniti ke atas dengan bertumpu pada akar pohon dan beberapa batu yang sedikit menonjol. Aku selamat dan hanya menyisakan sebuah luka terbuka, 2 buah bengkak di kaki, 1 benjolan di kepala, beberapa luka lebam dan baret-baret di kaki dan tangan. Sebuah pengalaman berdekatan dengan kematian yang sangat singkat. Tidak ada peluang untuk merasa ngeri, tidak ada peluang untuk menimbang-nimbang pilihan, bahkan untuk menangis!

Pengalaman itu mirip seperti grafik persamaan kuadrat yang berbentuk parabola yang menggambarkan garis hidupku. Ketika nilai x menghasilkan nilai minimum y, ada garis lurus horisontal dengan nilai y sedikit dibawah nilai y grafik parabola hidupku. Perbedaan nilai itu sangat kecil, seandainya pinsil yang digunakan untuk membuat grafik tidak tajam, tentu akan akan menghasilkan titik potong.

Gambar yang sempurna ..... sehingga menghasilkan grafik parabola yang masih akan berjalan terus membentuk parabola-parabola berikutnya.........

Kamis, 28 Mei 2009

Kupikir..... aku beruntung pada Peh Cun tahun ini

Hari ini, 28 Mei 2009 bertepatan dengan tanggal 5 bulan 5 menurut penanggalan Cina. Ada tradisi Peh Cun pada hari ini untuk merayakan Dewa Air. Persisnya bagaimana, aku tidak terlalu mengerti, karena keluargaku hanya mewarisi darah Cina, tetapi tidak tradisinya. Yang aku tahu, menjelang Peh Cun, banyak orang menjual daun bambu dan beras ketan yang terpilih. Kemudian, 3-5 hari menjelang Peh Cun banyak kue cang dijual di pasar.


Waktu kecil dulu, aku ingat kami pernah "kebagian jatah" bacang dari Om John yang mendapat kiriman banyak bacang dari pasien-pasiennya. Jatah kita begitu banyak, dalam segi jumlah maupun rasa. Ada yang dari ketan, ada juga yang dari beras. Ada yang manis, ada yang asin, ada yang pedas, ada juga yang mengandung cabe rawit gelondongan di dalamnya. Saat itu, untuk pertama kalinya aku mendengar istilah Peh Cun juga penjelasan tentang kapan perayaan itu terjadi dalam penanggalan Cina.

Setelah pengalaman masa kecil itu, istilah Peh Cun kudengar lagi ketika SMA dalam pelajaran Bahasa Inggris. Salah satu bahan bacaan yang dipakai adalah tentang perayaan pesta air yang diselenggarakan pada Peh Cun. Entah mengapa, dibandingkan perayaan-perayaan tradisional Cina lainnya, Peh Cun lebih berkesan bagiku. Jadi meskipun pengalaman dan informasi yang kudapatkan sangat sedikit, aku mengingatnya terus.

Lama sesudah itu... setelah aku berkeluarga, aku bertetangga dengan keluarga keturunan Cina yang berasal dari Belitung. Beberapa hari menjelang Peh Cun, mereka membuat kue cang dan bacang dalam jumlah banyak dan menjualnya kepada tetangga-tetangga. Selain itu, aku juga melihat ada yang istimewa di Sungai Cisadane, yang mengalir di belakang Robinson, Tangerang. Ada banyak perahu-perahu dengan hiasan di sepanjang sungai. Rupanya dari dulu, orang-orang Cina di Tangerang memiliki tradisi merayakan Peh Cun dengan lomba perahu, dan kemudian diambil alih oleh pemda dengan Festival Cisadane yang diadakan di sekitar hari raya Peh Cun.

7 tahun terakhir, setelah kami pindah rumah, tidak ada lagi pengalaman yang membuatku ingat akan Peh Cun.

Di luar kenangan-kenangan tentang Peh Cun, ada satu kejadian yang melekat terus di benakku, yaitu fenomena berdirinya telur. Aku pernah mendengar kesaksian orang yang berhasil membuat telur berdiri. Kejadian yang hanya terjadi satu kali setahun secara teratur menurut penanggalan Cina, namun aku tidak mengingatnya. Hingga 3 tahun yang lalu, dengan "googling" aku mengetahui bahwa fenomena ini terjadi pada saat Peh Cun. Sayang, saat itu Peh Cun sudah lewat. Jadi aku harus menunggu beberapa bulan lagi.

Tahun lalu, Peh Cun jatuh pada hari Minggu. Aku mengeluarkan telur sejak pagi dari lemari es dan menunggu-nunggu telur-telur itu berdiri. Ternyata penantianku sia-sia, tidak satupun yang berdiri. Malamnya, aku menyaksikan berita di TV tentang orang-orang di klentek Boen Tek Bio yang berkumpul untuk membuat telur-telur berdiri. Ternyata telur harus dibuat berdiri, tidak bisa berdiri sendiri. Satu tahun lagi aku harus menunggu!

Tadi pagi, Sian Ing mengantarkan kue cang dan bacang ke rumah....hmm..... sudah lama sekali aku tidak mengalami ini! Ini keberuntungan pertamaku pada Peh Cun tahun ini. Kemudian, sama seperti tahun lalu, aku mengeluarkan telur-telur dari lemari es.





Pukul 12, aku mencoba membuat telur-telur berdiri.....horeeee....berhasil! Keberuntunganku yang kedua! Aku berhasil membuat 5 telur berdiri, sayang yang 2 jatuh sebelum diabadikan gambarnya. Tidak mudah untuk membuat telur berdiri. Perlu kesabaran dan ketenangan. Dan aku merasa beruntung sekali dapat menjadi saksi fenomena unik ini.



Keberuntunganku yang ketiga, balerinaku pulang dengan membawa 5 buah bacang dari temannya.... Ini adalah pengalaman Peh Cun-ku yang paling berkesan selama ini. Kupikir....aku beruntung pada Peh Cun tahun ini.

Selasa, 21 April 2009

Penghuni rumah

Berada di tempat yang jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang panjang kadangkala membuat hati dan pikiran menjadi kesepian. Pada saat-saat seperti ini, menulis surat atau membaca ulang surat-surat, mendengarkan kaset atau membaca bahkan tidak bisa menghilangkan rasa kesepian. Jangan heran kalau kemudian ada hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari imajinasi ngawur hingga persahabatan dengan binatang.

6 bulan pertama, aku tinggal di sebuah rumah di daerah Oeba yang kukontrak bersama Dewi. Rumah kecil yang terdiri dari kamar tamu, 3 buah kamar tidur, ruang makan dan dapur serta kamar mandi dengan bak air besar yang berada di luar bangunan rumah utama. Rumah berdinding bebak (bahasa Kupang yang berarti batang daun lontar), berlantai semen dan beratap daun lontar. Bentuk rumah seperti ini adalah bentuk umum yang ada di Kota Kupang. Batang daun lontar yang disusun berderet secara vertikal membuat sirkulasi udara yang baik di dalam rumah, sehingga rumah terasa sejuk.

Aku mendapatkan kamar yang ada di depan, Dewi mendapat kamar tengah, persis di belakang kamarku. Sedangkan kamar yang satu lagi kami gunakan sebagai gudang. Kami memperlakukan rumah kontrakan ini sama seperti rumah kami sendiri. Kami memeliharanya dengan baik dan menjaga kebersihannya bersama-sama. Sebelum berangkat kerja, kami bersama-sama menyapu, mengepel, melap perabotan. Ada satu tempat yang membuat kami segan membersihkannya, sebisa mungkin kami menghindari bagian ini, yaitu kamar tidur yang kami gunakan sebagai gudang. Kami merasa tidak nyaman kalau berada di kamar itu.

Suatu kali, Dewi mendapat tugas untuk mengikuti pelatihan selama 2 minggu di Jakarta. Aku tinggal sendirian. Pada hari Minggu aku menyaksikan TV yang ada di kamar Dewi sambil tidur-tiduran di tempat tidurnya, hingga jatuh tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena lapar dan menyadari TV dan booster mati. Anehnya, TV tidak dalam posisi stand-by dan kain penutup sudah terpasang rapi menutupi TV. Siapakah yang merapikan ini semua? Apakah ada penghuni rumah selain aku? Besoknya, dan hari-hari selanjutnya hingga tiba waktunya Dewi pulang, aku tidak berani tinggal di rumah itu sendirian. Karena itu aku menginap di tempat kost Siriet.

Rumah berikutnya yang aku diami selama di Kupang adalah rumah dinas SPRG yang berada di lokasi sekolah dan asrama siswa SPRG dan SMF. Aku menempati rumah di sudut dengan kolam kering di belakangnya. Beberapa minggu sebelum aku memasuki rumah itu, ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi di asrama puteri SPRG. Beberapa siswi yang bangun dari tidurnya mendapati dirinya sudah tidak berbusana dan pakaiannya sudah terlipat rapi di atas meja. Rupanya ada penghuni porno di asrama SPRG.

Ada lagi cerita-cerita tidak masuk akal yang dialami siswa-siswa SPRG di rumah yang akan kumasuki (mereka tinggal di sana ketika asrama putera belum jadi). Aku lebih takut pada cerita tentang napi yang kabur dari LP yang berjarak 1 km dari SPRG dan beberapa kali kedapatan melompati tembok di belakang rumahku. Aku pasti akan mati berdiri bila ada napi yang menawarkan diri untuk menjadi penghuni baru di rumahku.

Memang ada rasa ngeri di hati, tapi tekadku sudah bulat untuk pindah ke rumah dinas. Dan memang akhirnya setelah aku menempati rumah itu, bisa dibilang aku tidak mengalami kejadian apa-apa. Hanya satu kali, ketika sedang istirahat siang, aku merasa dibangunkan oleh seseorang. Karena masih mengantuk, aku tidak mampu membuka mata apalagi untuk duduk. Tapi aku merasa di ujung kakiku berdiri suatu makhluk besar hitam yang menahan tubuhku sehingga tidak bisa bangun. Penghuni gelap? Ah... aku cenderung menduga itu hanya bayangan yang muncul akibat kesadaranku saat itu masih belum pulih saja. Tentu saja dalam keadaan belum sadar, tubuh akan sulit mengikuti keinginan pikiran.

Suatu kali, Arief dan Haryanto, rekan sesama peserta prajabatan yang ditempatkan di TimTim mengunjungiku. Keduanya mengaku dapat melihat makhluk dari dunia lain dan menurut mereka memang rumah dinasku itu ada 'penunggunya'. Entah sekedar menghiburku atau memang kenyataan, mereka mengatakan bahwa 'penunggu' ini tidak akan mengganggu penghuni rumah, malah melindungi. Persetan dengan penghuni yang mau menunggui rumahku....

Beberapa bulan sebelum aku mengakhiri masa wajib kerjaku, rumahku didatangi penghuni baru. Penghuni yang betul-betul nyata sosoknya dan membuatku betah tinggal di rumah. Kedatangannya sangat tiba-tiba, tanpa basa-basi dan membuatku terkejut. Dia memasuki rumahku ketika aku sedang pergi. Aku sungguh-sungguh berteriak kaget ketika pulang dan mendapatinya di ruang tamu. Sosoknya yang mengerikan betul-betul membuatku lemas.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku melihat TOKEK dan apesnya, jenis tokek yang kulihat saat itu jenis yang mengerikan. Tekstur kulitnya bergerigi mirip iguana, berwarna coklat tua dan saat kujumpai sedang menempel di dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Saat itu aku tidak tahu makhluk apa yang menempel di dinding itu. Besok paginya, saat dia berbunyi "krrr....krrrr....tk...tk...tokek" barulah aku mengetahuinya. Perlu waktu beberapa hari bagiku untuk membiasakan diri dengan penghuni baru itu.

Rupanya si tokek merasa betah tinggal bersamaku. Kebersamaan kami cukup membuatku kadang-kadang ingin cepat-cepat pulang untuk melihat temanku yang satu ini. Meskipun kami tidak dapat saling berkomunikasi, rasanya ada ikatan halus di antara kami. Kira-kira 2 bulan dia menemaniku sebelum dia pindah ke rumah sebelah. Sesudahnya, hingga saat ini aku tidak pernah lagi melihat tokek dengan bentuk seperti itu.

Penghuni lainnya adalah seekor kodok yang bermukim di pinggir kolam kering di belakang rumah. Dia muncul pertama kali pada awal musim hujan bulan Oktober 1992. Suaranya yang besar, kadang-kadang mengiringi suara air hujan di malam hari, membuatku tidak merasa kesepian. Dan pengalaman inilah yang memberi pencerahan padaku, bahwa usia kodok itu bisa lebih dari 1 tahun, sebab si kodok ini tidak pernah pindah dari kolam kering itu dan terus berbunyi hingga musim hujan tahun berikutnya berlalu.

Nafsiah Mboi yang kukenal

Hanya satu kali selama sekitar 3-4 jam aku melihatnya, tapi beliau meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Saat itu aku diajak Ibu Widya menghadiri pesta ulangtahun Pak Ben. Rumahnya besar dan cukup mewah dibanding rumah-rumah lain di Kupang pada masa itu. Maklumlah, mantan gubernur. Namun status yang tinggi ini tidak membuat keluarga ini bersikap sombong. Hal pertama yang menarik hatiku ada penampilan Ibu Nafsiah. Dalam gaun panjangnya, Ibu terlihat sangat anggun, namun tidak berkesan "lebih" dibandingkan Pak Ben yang saat itu berkostum T Shirt dan celana pendek. Keduanya tampak serasi saat menyambut hangat tamu-tamu yang datang.

Hal kedua adalah saat santap malam. Ibu Nafsiah sibuk mengundang tamu-tamu untuk makan, sedangkan beliau sendiri sama sekali tidak menyentuh makanan sedikitpun! Wuuiiihh...pantas, badannya begitu bagus, tidak nampak sama sekali timbunan lemak. Menurut Ibu Widya, itu adalah kebiasaannya dalam setiap jamuan malam. Satu-satunya makanan yang bisa masuk ke mulutnya hanya sedikit salad.

Setelah agak malam, tibalah acara menari. Hampir semua hadirin turun menari, dari dansa, cha-cha-cha hingga rokatenda. Menari dalam pesta merupakan suatu keharusan di masyarakat NTT. Jadi kalau ada yang tidak menari, bisa dipastikan bukan orang NTT, aku adalah contohnya. Malam itu aku duduk mengamati orang-orang menari, termasuk di antaranya Ibu Nafsiah. Gerakannya sangat luwes dan lincah. Hingga menjelang tengah malam, ketika suasana makin menghangat, Ibu Nafsiah berganti kostum : kemeja dan celana panjang. Wah... setelah itu gerakan tariannya makin indah dilihat. Dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Ramah, supel, menjaga penampilan, pandai menari, itulah kesan pertamaku melihat Ibu Nafsiah. Hingga bertahun-tahun setelah itu, aku selalu mengingat kesan-kesan yang ditinggalkannya di hatiku. Ketika beliau aktif dalam gerakan peduli AIDS, ketika menjadi anggota dewan... aku melihatnya sebagai bagian yang memang pantas melekat pada dirinya.

Kamis, 16 April 2009

Kampanye Pemilu 1992

Pemilu sudah usai. Kejadian-kejadian selama masa kampanye dan pemilu baru lalu mengingatkanku pada pemilu tahun 1992 saat aku masih menjadi PNS dan dengan sendirinya menjadi anggota Korpri. Sudah menjadi rahasia umum waktu itu, pengertian mono loyalitas tunggal Korpri berarti loyal pada Golkar. Rahasia yang baru aku pahami ketika mengikuti latihan prajabatan sebelum berangkat ke Kupang. Meskipun menurut teori, mono loyalitas menjurus pada kesetiaan kepada bangsa dan negara, secara blak-blakan para fasilitator menegaskan kesetiaan kepada bangsa dan negara otomatis berarti kesetiaan kepada Golkar.

Pertengahan Mei 1992 merupakan masa kampanye menjelang Pemilu. Suatu siang ketika aku sedang 'leyeh-leyeh' di kamar kontrakanku di Oeba, tetangga belakang memanggil-manggil aku dan Dewi. (Rumah-rumah di Oeba umumnya tidak berpagar, jadi dari pintu belakang rumah kontrakanku, aku bisa berbicara dengan tetangga belakangku dan sebaliknya). Tetanggaku yang satu ini pegawai Kanwil DepKes NTT. Dia memberitahu bahwa siang ini ada kampanye Golkar dan semua pegawai harus datang dan ada absensi. Karyawan SPRG tidak sempat diberitahu, karena tidak ada jaringan telepon.

Akhirnya dengan rasa kesal karena harus meninggalkan waktu istirahatku, aku dan Dewi berangkat menuju lapangan A. Yani yang tidak jauh dari Oeba. Saat itu pukul 3 siang, panas matahari terasa menyengat. Untungnya, di lapangan tersebut masih ada pepohonan yang cukup rindang dan kami mendapat tempat berdiri di dalam bayang-bayang rimbunan daun. Aku tidak tahu apa yang dikampanyekan karena sepanjang acara kami membuat kegiatan sendiri. Ujung-ujungnya...tidak ada absensi!

Ada beberapa cerita lain tentang musim kampanye 1992. Suatu hari, siswa-siswi SPRG diliburkan dan dikerahkan untuk mengikuti kampanye Golkar. Sakit hatinya, hari itu sebetulnya ada ulangan pelajaran yang aku berikan. Batal! Cerita lainnya terjadi beberapa hari sebelum pengerahan siswa-siswi SPRG, ada pegawai Puskesmas Tarus yang dipanggil oleh Camat Tarus karena ada desas-desus pegawai itu mengikuti kampanye PDI. Emangnye kenape?

Cerita-cerita di atas tentunya merupakan cerita biasa kalau dibaca saat ini. Tapi bagiku saat itu yang baru pertama kali mengalami pemaksaan untuk setia pada Golkar, huuh... benar-benar menyebalkan. Saat itulah untuk pertama kalinya aku menjadi Golput. Djoni yang tahu aku akan menjadi golput, mengingatkanku bahwa kertas suara sudah diberi tanda, jadi yang tidak memilih Golkar akan ketahuan. Akibatnya akan mempengaruhi karir sebagai PNS. Oooo.... pantas...2 tahun kemudian, aku dengan mudahnya mendapat rekomendasi untuk keluar dari PNS, juga keluar dari Kupang.....

Selasa, 14 April 2009

Edu Pah, orangtua angkatku

Hari terakhir libur Paskah 1992 kupakai untuk menemani Siriet ke Puskesmasnya di Tarus yang ternyata masih tutup karena karyawan libur juga. Karena sudah kadung sampai Tarus, kami mencari rumah Pak Edu Pah yang berada di Tarus juga. Beliau adalah seorang pembuat dan pemain sasando. Beberapa waktu sebelumnya memang aku bermaksud menemuinya untuk minta diajarkan bermain sasando.

Kejutan bagi saya ketika Pak Edu Pah dan istrinya menyambut kedatangan kami dengan penuh sukacita. Baru berbasa-basi sedikit, kami langsung dibawa ke kebunnya yang berada di belakang rumah. Area tempat tinggal Pak Pah (begitu aku selanjutnya memanggilnya) sangat luas. Rumahnya sendiri sudah besar, lalu dikelilingi oleh kebun buah yang sangat besar. Segala macam pohon buah ada di sana, termasuk buah matoa asal Papua yang saat itu belum populer. Begitu kami duduk, langsung kami dipetikkan buah kedondong, jambu air, jeruk purut dan jeruk peras. Bahkan, kalau tidak kami tolak dan beliau berpikir akan merepotkan kami untuk membawanya pulang, kami akan dibawakan masing-masing 2 buah kelapa muda.

Selain pohon buah-buahan, di kebun itu ada juga tanaman kangkung, pisang, mangga, coklat, teratai 3 warna, duren, rambutan, 18 jenis pohon jeruk, pandang, kelengkeng...wah tidak ingat lagi. Yang pasti sangat banyak macamnya. Di kebun itu juga ada 3 buah kolam ikan dan isinya bermacam-macam ikan. Kami diajak duduk-duduk di bawah pepohonan dan ngobrol. Selama ngobrol, kami disuguhi kacang goreng dan coklat susu. Aku merasa takjub, Pak Pah dan istri begitu terbuka kepada kami, dan kami merasa betah-betah saja berada di sana.

Pak Pah yang berusia sekitar 60-an saat itu berasal dari Pulau Rote. Beliau adalah seorang seniman dan mempunyai 7 orang anak yang semuanya seniman, ada yang bermain musik, menyanyi dan menari. Beliau-lah yang menata anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah. Informasi ini kudapat dari bincang-bincang akrab sepanjang pagi hingga siang hari itu. Dalam sekejap mata, kami merasa sudah seperti menjadi anak mereka.

Siang harinya kami diajak pergi ke Pantai Lasiana yang berjarak 500 meter dari kediaman Pak Pah. Untuk mencapainya, kami harus menyeberangi Jalan Raya SoE. Kami dibawa ke sana untuk diperlihatkan sasando buatannya yang disimpan di pub-nya di Lasiana. Di pub itu kami dijamu lagi dengan jagung bakar, mi goreng plus telur ceplok. Yang mengejutkan kami, ketika bepapasan teman-temannya di Lasiana, Pak Pah memperkenalkan kami sebabai anak-anaknya yang disekolahkan kedokteran gigi di Pulau Jawa dan baru pulang kembali!

Kami berada di Lasiana hingga pukul 3 siang. Kami pulang ke arah barat sedangkan Pak Pah dan istri ke arah timur. Untuk mendapatkan bemo (istilah orang Kupang untuk angkot), kami harus kembali menyeberangi Jalan Raya SoE. Ada hal mengharukan lagi, kami diantar menyebrangi jalan dan ditunggui sampai kami mendapat bemo.

Perjumpaan pertama yang sangat berkesan. Saat itu aku baru 2 bulan berada di Kupang dan aku mendapat orangtua baru. Rasanya menyenangkan sekali. Setelah itu masih berulang-ulang aku bersama Dewi mampir ke rumahnya, 1 atau 2 kali seminggu untuk belajar sasando. Kenyataannya, hingga selesai masa baktiku di Kupang, aku sama sekali tidak bisa bermain sasando. Sebab aku lebih banyak bermanja-manja kepada orangtuaku daripada belajar. Sekali waktu kami diajari 1 lagu, lalu Pak Pah meninggalkan kami agar kami mempelajari lagunya. Permainan kami begitu bagusnya sehingga Pak Pah keluar karena terkejut dengan perkembangan kemampuan salah satu dari kami! Sebetulnya bukan salah satu dari kami yang trampil, tapi kami berdua memainkannya secara patungan : aku memainkan bagian tangan kanan sedangkan Dewi memainkan bagian tangan kiri....jadilah permainan yang mempesona! Dasar anak nakal .....

Pengalaman bersama Pak Pah merupakan nilai tambah pada masa wajib kerjaku selama 2 tahun di Kupang. Setelah aku pulang ke Jakarta, kami masih melakukan korespondensi. Terakhir, aku mendengar Pak Pah sakit, setelah itu suratku tidak berbalas...bertahun-tahun kemudian hingga saat ini, aku tidak tahu kabar orang tua angkatku itu...

Kamis, 19 Maret 2009

Telepon dan surat, sarana komunikasi andalan

15 tahun yang lalu, sebelum tekhnologi ponsel, internet apalagi facebook memasuki Kupang, di sanalah aku berada. Tidak persis di kota Kupang, namun di pinggiran, tempat bandar udara berada. Rumah masih jarang, bisa dibilang tidak ada. Yang ada hanya beberapa gedung milik pemda : Balai Latihan Kesehatan Masyarakat dan beberapa gedung milik Dinas Kesehatan dalam satu lokasi. Sekitar 2 km dari lokasi itu, terletak Lembaga Pemasyarakatan. 5 km ke arah yang berbeda ada kompleks Angkatan Udara yang relatif lebih padat dibandingkan lokasi milik Dinas Kesehatan. Dengan jarangnya penduduk di daerah itu, bisa dimaklumi kalau jaringan teleponpun belum menjangkau Penfui, tempatku berada.

Berada jauh dari keluarga untuk pertamakali, seringkali muncul rasa kesepian dan kangen. Untuk mengatasinya, aku menggunakan dua cara yaitu menggunakan warung telepon di Kupang milik PT Telkom dan menulis surat.

Telepon

Untuk menelepon, biasanya aku memanfaatkan waktu diskon, yaitu di atas jam 6 sore atau sebelum jam 6 pagi. Seberapa murah? Rp 1.000,- / menit untuk menelepon seseorang di Jakarta. Bandingkan dengan telepon selular jaman sekarang.... Sebetulnya lebih murah lagi, bila di atas jam 8 malam. Ada trik khusus yang aku gunakan untuk memanfaatkan telepon murah itu. Bila aku menelepon pada sore hari, aku mencari waktu yang bertepatan dengan acara keluar Rytha. Maklum, dia punya mobil, jadi untuk pulang, aku bisa nebeng dia pulang. Aku tidak mungkin naik angkot untuk pulang, karena di atas jam 6 sore sudah tidak ada angkot yang beroperasi ke Penfui. Bila aku menelepon pada pagi hari, malam sebelumnya aku menginap di tempat kost Siriet yang ada di tengah kota Kupang.

Supaya usahaku untuk mencapai warung telepon tidak sia-sia, sejak beberapa minggu sebelumnya aku mengabari melalui surat agar penerima telepon menyediakan waktu untuk menerima teleponku. Kadang-kadang, surat kukirim beberapa kali untuk mengantisipasi seandainya ada surat yang tidak sampai ke penerimanya. Itupun tidak selalu efektif. Pernah suatu kali, meskipun sebelumnya aku sudah memberi tahu beberapa kali guru hebatku lewat surat, pada saatnya dia tidak ada di tempat karena ada rapat di gereja.

Tanpa jaringan telepon di Penfui memang tidak memungkinkanku untuk menerima telepon. Tapi untuk menelepon, aku tidak selalu berada di pihak yang harus membayar. Suatu kali, aku pernah menelepon Liani di Amerika untuk suatu hal yang sangat penting buatku, tapi rasanya tidak terlalu penting buat Liani. Yang melegakanku saat itu, biaya telepon ditanggung oleh Liani. Memang kakakku yang satu ini sangat penuh pengertian.... mana mampu aku menelepon dia dengan gaji CPNS ku yang hanya Rp. 800,-/bulan!

Di hari-hari akhirku di Kupang, jaringan telepon masuk Penfui! Aku sempat beberapa kali merasakan sensasi menggebu-gebu saat menerima telepon... berlari-lari dari mess ke kantor SPRG yang berjarak sekitar 300 meter... berbicara di telepon sambil terengah-engah... senangnya..... Berbahagialah teman-teman yang datang di SPRG setelah aku pergi....

Surat

Surat menyurat merupakan penghubung utamaku dengan keluarga dan guru hebatku selama di Kupang. Selama di Kupang, aku mengasah ketrampilan menuliskan segala yang kupikir dan kurasa. Sedikitnya 5 pucuk surat kubuat dalam seminggu. Di SPRG, aku adalah pengirim dan penerima surat terbanyak.

Lalu lintas surat dari dan ke SPRG dilayani oleh sebuah mobil pos yang datang 1 atau 2 kali seminggu. Pada awal atau akhir bulan biasanya 2 kali seminggu, karena banyak membawa wesel untuk siswa-siswi SPRG dan SMF (yang berlokasi sama dengan SPRG). Hari kunjungan mobil pos ke SPRG adalah Senin dan Kamis, karena itu aku menjadikan hari Minggu dan hari Rabu sebagai hari menulis surat.

Aku menulis apa saja, yang aku pikir dan rasakan, terutama untuk guru hebatku. Ada juga pertanyaan dan permintaan yang kutulis, tapi aku tidak pernah menunggu hingga pertanyaan dan permintaanku dijawab untuk menulis surat berikutnya. Aku menulis terus. Saat itu aku sering diingatkan tentang ahli-ahli astronomi yang mengirim sinyal kepada makhluk yang diduga hidup di bintang yang jauhnya beratus-ratus tahun cahaya dari bumi. Sinyal itu terus dikirimkan tanpa menunggu balasan, karena bila menunggu balasan, proses komunikasi akan menjadi sangaaaaattt luamaaaaaa.....

Sejak awal kedatanganku, aku sudah mengirim banyak surat. Setiap kali mobil pos datang ke SPRG tanpa membawa surat untukku, rasanya sediiihhhhh 'kali. Hingga 3 minggu berlalu, tidak ada 1 pun surat datang kepadaku. Dalam keadaan gundah gulana seperti itu, Lily bercerita tentang temannya yang tinggal di Timor Tengah Utara, untuk mencapai tempat itu harus mengendarai kuda beberapa kilometer dari Atambua. Karena sulitnya surat mencapai tempat tinggalnya, kasihnya putus di tengah jalan. Aduuuhhh....Ly, kenapa bercerita seperti itu pada saat aku lagi sensitif. Aku kan jadi malu ketika banyak yang tahu, bahkan beberapa siswa melihatku beberapa waktu lamanya berdiam diri di toilet untuk menguras air mataku dan hidungku....hiks!

Sekali waktu aku pernah membakar surat kaleng yang berisi rayuan yang membuatku tidak nyaman. Saat itu aku masih tinggal di Oeba bersama Dewi. Beberapa hari setelah itu, badanku gatal-gatal dan pada betis kananku ada bekas tusukan dikelilingi warna merah dan membengkak. Lesi seperti itu beberapa kali aku alami selama tinggal di Kupang, yaitu bekas gigitan lalat sapi. Tanpa diobati, lesi ini dan rasa gatal yang menyertainya baru hilang setelah 1 bulan lebih. Saat itu, karena baru pertama kali mengalami dan berdekatan dengan peristiwa bakar surat, aku mengira aku kena guna-guna pembuat surat itu. Bukan cuma aku, Dewi-pun mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Kenapa berpikir guna-guna? Itu karena termakan kasak-kusuk selama prajabatan tentang daerah-daerah yang masih dihuni pengguna ilmu hitam. Kalau sekarang kurenungkan.... guna-guna.... huahahahahahhaha....

Kamis, 12 Maret 2009

Bagiku saat itu, Kupang .......

Bayanganku sebelum berangkat, NTT adalah suatu daerah dengan tanah gersang, berudara panas dan susah air. Karena NTT adalah pilihanku sendiri, aku menyiapkan diri dengan tidak mengharapkan hal-hal yang terlalu muluk. Tujuannya agar aku betah tinggal di sana. Aku tidak mengharapkan akan melihat pohon hijau, juga tidak mengharapkan hidup bersenang-senang di sana.

Tentang tanah yang gersang

Ketika pesawat mau mendarat di bandara Eltari, aku terpesona melihat tanah pulau Timor yang hijau di mana-mana. Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan semula. Tentu saja, saat itu adalah bulan Februari, masih musim hujan. Meski curah hujan tidak sebanyak di pulau Jawa, airnya cukup untuk menghidupkan rumput-rumput. Hingga bulan Maret, rumput-rumput itu akan mencapai ketinggian hingga 2 meter.

Rumput setinggi 2 meter ini mengingatkanku pada jalan sepanjang 1 km yang harus kutempuh dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah dinasku di Penfui. Tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan ini. Kiri dan kanan sepanjang jalan ini adalah padang rumput. Bila berjalan pada bulan Februari hingga Maret, di siang hari rumput-rumput ini membentuk bayang-bayang yang melindungiku dari matahari. Tapi aku tidak pernah berani melakukannya di malam hari.... hiiii...bayangkan kalau tiba-tiba ada napi keluar dari sela-sela rumput itu! Ini bukan khayalan, karena lokasi tempat tinggalku berdekatan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Bagiku saat itu, Kupang cukup segar.

Memasuki bulan_bulan mei hingga september, pemandangan menjadi berubah sama sekali. Yang terlihat adalah kota Kupang yang hitam, yaitu warna karang yang ditutupi semak terbakar. Memang pada bulan-bulan itu matahari bersinar terik hingga membakar rumput-rumput. Tapi tidak seburuk itu.... masih ada tempat-tempat indah yang dihiasi oleh pohon bougenville dengan bunganya yang berwarna-warni. Tidak ada tempat lain yang pernah kulihat memiliki bunga bougenville seindah kota Kupang. Ada lagi yang menarik dan mungkin hanya ada di NTT yaitu bunga ungu yang menempel pada batang pohon flamboyan yang meranggas. Daun-daun rimbun pohon-pohon flamboyan memang sudah gugur, tapi pemandangan unik ini sungguh mengesankan. Aku tidak tahu pasti, apakah bunga-bunga ungu ini merupakan fase hidup flamboyan atau tumbuhan lain yang melekat pada pohon flamboyan dan baru kelihatan karena daun-daun flamboyan sudah gugur. Bagiku saat itu, Kupang cukup indah di mata.

Tentang udara yang panas

Udara di NTT memang panas, karena itu sebisa mungkin aku tidak bepergian pada siang hari. Biasanya aku keluar setelah pukul 4 sore ketika sinar matahari sudah tidak telalu menyengat. Bila terpaksa keluar di siang hari, aku membawa sejata yang sudah kupersiapkan sebelum berangkat, payung. Aku tidak peduli waktu Siriet menertawakanku dengan kebiasaanku berlindung di bawah payung. Di sana pula untuk pertamakali dalam hidupku, aku menggunakan sunblock lotion. Hasilnya, ketika aku kembali ke Jakarta 2 tahun kemudian, kulitku lebih cerah dibandingkan sebelum pergi! Karena sebelumnya, di Jakarta aku tidak pernah memikirkan perlunya berlindung dari sinar matahari.

Sinar matahari memang menyengat di NTT, tetapi udara tidak selalu panas. Pada bulan-bulan Februari hingga Juli, terutama malam hari udara terasa dingin karena angin barat berhembus. Udara dingin ini menjadi penghiburan bagiku sehingga bagiku saat itu panasnya Kupang tidak menyakitkan. Bagiku saat itu, panasnya kota Kupang tidak menyakitkan.

Tentang air yang sulit didapat

Pulau Timor adalah pulau karang, sehingga untuk mencapai sumber air harus dibuat sumur yang sangat dalam. Itu bayanganku semla. Ternyata ada banyak sumber mata air di kota Kupang dan sekitarnya. Banyak tempat di Kupang yang diberi nama dengan awalan Oe, yang berarti air. Ada Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenesu, Oepura, dan banyak lagi. Ada lagi tempat yang diberi nama Air Mata, dan Fonten yang tentunya berasal dari kata fontain. Dari mata air-mata air inilah, air didistribusikan ke rumah-rumah penduduk. Memang pada bulan-bulan tertentu, aliran air tidak lancar. Tetapi karena aku tinggal di rumah dinas milik pemerintah, nyaris aku tidak pernah mengalami sulit air. Pada saat sulit air, ada truk yang mengantarkan air bersih. Bagiku saat itu, Kupang menyegarkan dan tak membuatku haus.

Ada banyak sumber-sumber air di sekitar kota Kupang dan biasanya menjadi tempat tujuan wisata. Seperti mata air di tempat lain, letaknya ada di ketinggian yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar, kemudian mengalir melalui batu-batuan ke bawah membentuk air terjun. Ternyata di pulau Timor tempat ini ada banyak dan masih asri, belum banyak disentuh oleh manusia. Bagiku saat itu Kupang menjadi tempat wisata yang menyenangkan.

Hal-hal tak terduga di atas membuat hidupku di Kupang selama 2 tahun menjadi bagian hidupku yang sangat mengesankan.... Aku tidak pernah menyesali keputusanku memilih NTT sebagai tempat WKS (wajib kerja sarjana) ku. Bae, sonde bae, Tanah Timor lebe bae.

Belalang berhidung mancung

Lain ladang, lain belalang. Pada 2 ladang tidak terlalu jauh jaraknya, ternyata bisa didapati belalang yang berbeda. Keberadaanku di Kupang 17 tahun yang lalu merupakan pengalaman pertamaku berada di ladang yang berbeda. Jadi maklum saja kalau aku sempat dikagetkan dengan belalang yang berbeda yang kujumpai di sana.

Masih sama-sama berada di Indonesia, ternyata ada beberapa kebiasaan khas orang Kupang yang tidak dijumpai di Jakarta. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuatku merasa risih ketika pertama kali melihatnya, tapi lama kelamaan menjadi biasa karena sering menjumpainya, misalnya gandengan-tangan di antara sesama laki-laki. Kalau di Jakarta hal ini mengesankan orientasi seksual yang tidak lazim di antara keduanya, ternyata di Kupang menunjukkan ikatan persahabatan yang baik.

Ada juga kebiasaan yang menambah ketrampilanku, yaitu kebiasaan menari. Orang NTT, dan rasanya hampir seluruh suku bangsa di Indonesia, biasa mengungkapkan rasa syukur, sukacita dengan menyelenggarakan pesta. Dalam setiap pesta ada hal yang tidak akan dilewatkan, yaitu menari. Semua orang NTT pasti dapat menari. Dalam suatu pesta, aku pernah menyaksikan seorang anak berusia sekitar 6 tahun menarikan gerakan cha-cha-cha dengan baik sekali. Ada 2 buah tarian rakyat yang selalu ditarikan dalam pesta, yaitu terasering dan rokatenda. Gerakan terasering mirip dengan poco-poco, dimana semua berdiri dalam satu arah kemudian melakukan gerakan ritmis bersama-sama. Tarian ini cukup mudah dipelajari. Sedangkan rokatenda (nama sebuah gunung berapi di Flores) agak sulit karena terdiri atas beberapa seri meskipun tiap seri merupakan variasi dari gerakan inti yang sama. Tarian ini dilakukan dalam sebuah lingkaran.

Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan berpesta, kendaraan umum di kota Kupang -disebut bemo- yang menarik bagi calon penumpang adalah bemo yang dilengkapi dengan bunyi musik keras dan hiasan interior dan eksterior yang menyolok. Kalau bemo tidak diberi hiasan, apalagi tanpa musik, bisa dipastikan jauh dari rejeki.

Ada kebiasaan yang berbeda 180 derajat dibandingkan kebiasaan orang Jakarta, yaitu cara berbicara. Orang Jakarta biasa menyingkat kata dengan mengambil bagian akhir kata, misalnya udah atau dah untuk kata sudah, bis untuk kata habis, aja untuk kata saja. Orang Kupang kebalikannya, menyingkat kata dengan mengambil bagian awal kata, misalnya su untuk kata sudah, pi untuk pergi, sa untuk saja. Aku memerlukan waktu cukup lama untuk membiasakan telingaku menangkap kata-kata mereka yang umumnya diucapkan dengan cepat. Tidak boleh ada yang tersinggung kalau ada orang yang berkata,"Lu sa pi", karena ini berarti "Kamu saja yang pergi"

Ada satu kebiasaan yang sebetulnya menarik, tapi tak dapat kulakukan, bukan karena merasa "tidak sreg" atau tidak mempunyai ketrampilan khususuntuk melakukannya, tapi hanya karena masalah anatomi muka. Pertemuan dua orang biasanya dilakukan dengan cara bersalaman sambil saling menempelkan hidung dan kemudian menggesekkannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan olehku yang berhidung pesek ini, bisa-bisa yang menempel bukan hidung tapi bibir! Salam 'hidung' ini biasanya dilakukan oleh dua orang yang cukup akrab, sedangkan untuk yang orang yang baru dikenal atau kurang dikenal, salam dilakukan dengan cara saling menempelkan batang hidung ke pipi. Salam seperti inilah yang sering kulakukan, misalnya ketika memberi selamat kepada penyelenggara pesta. Inipun agak sulit kulakukan lagi-lagi karena tulang hidungku tidak cukup tinggi. Jarang sekali aku berhasil menempelkan hidungku di pipi orang yang kusalami karena pada saat yang bersamaan aku juga harus memberikan pipiku untuk ditempeli hidungnya. Ada rasa "kenyal-kenyal empuk" di pipiku.....

Ladang yang ini memang dihuni oleh belalang -belalang yang mancung-mancung!

Jumat, 06 Maret 2009

PENGALAMAN PERTAMA, MEMBEKAS HINGGA BELASAN TAHUN

Pagi itu, pukul 4.30 suasana bandara Soekarno-Hatta lengang. Aku lupa apa yang membuatku berpikir saat itu bandara belum buka. Hehehe... emangnya restoran! Yang jelas aku melihat ada karyawan yang baru datang, mungkin yang akan bergiliran jaga dengan karyawan yang bertugas malam. Lalu ..... ada satpam yang membuka rolling door yang membatasi teras dan ruang tempat check-in. Apa iya...ada rolling door ya? Entahlah... yang jelas pk. 4.30 umumnya orang masih tidur, tapi di teras keberangkatan Garuda internasional ada banyak orang wajah-wajah sembab, entah kurang tidur atau terlalu banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarga. Itulah kami.

Kami adalah rombongan dokter gigi yang selama 3 minggu sebelumnya mengikuti pelatihan pra-jabatan di Lemah Abang – Bekasi. Hari itu kami diberangkatkan ke daerah masing-masing yang telah kami pilih sebelumnya. Rombongan pertama yang berangkat adalah rombongan yang menuju Irian Jaya (maaf kalau nama ini yang dipakai, sesuai dengan konteksnya) dengan pesawat yang berangkat pk 5.00. Aku masih sempat melihat beberapa teman tujuan Irian Jaya tergopoh-gopoh memasuki ruang check-in. Yah, resiko memililh tempat terjauh, jadi berangkatpun harus lebih dahulu.

Tepat pk 5.00 rombongan yang menuju NTT dan TimTim (saat itu masih merupakan wilayah Indonesia) diijinkan masuk ruang check-in. Kami terdiri dari 7 orang yang akan mendarat di Kupang dan sekitar 13 orang mendarat di Dili. Rasanya aku ingin menjadi yang terakhir memasuki ruangan itu supaya menjadi orang terakhir dalam rombongan yang berpisah dengan keluarganya. Tapi ternyata semua juga berpikir demikian.... bisa-bisa kami ketinggalan pesawat! Akhirnya kami semua saling mendorong untuk segera masuk.

Setiap ada kesempatan, aku berusaha menoleh ke teras, mencari-cari wajah orang-orang yang kukasihi, kemudian melambaikan tangan bila ternyata mereka masih terlihat ... berulang-ulang.... Semakin ke dalam aku berjalan, wajah-wajah mereka makin tidak jelas, hingga yang terlihat tinggal sosoknya saja. Mungkin sebetulnya mereka sudah pulang, tapi aku terus membayangkan seolah-olah masih melihat sosok mereka bahkan ketika sudah sampai di lorong menuju ruang tunggu penumpang. Lorong yang dikelilingi jendela kaca dan dihiasi tanaman hias di bagian luarnya.

Meski dalam rombongan yang masing-masing sudah cukup akrab semenjak mengikuti pra-jabatan, aku merasa nelangsa ketika berjalan melalui lorong ini. Tanaman hias warna-warni itu juga tidak mampu menghilangkan perasaan ini. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang, pergi ke tempat yang cukup jauh dari Jakarta dalam jangka waktu panjang, tanpa seorangpun anggota keluarga yang menemani. Pengalaman berjalan di lorong dengan perasaan nelangsa itu selalu muncul kembali setiap kali melalui lorong sejenis di bandara, bahkan hingga saat ini. Rasa kesepian yang mencekam.....

Jumat, 06 Februari 2009

Kupikir aku sakti ....

Selama ini aku punya kebanggaan sebagai orang yang bisa dibilang tidak pernah jatuh sakit. Artinya sakit yang memaksaku terkapar di tempat tidur berhari-hari dan tidak bisa beraktivitas apa-apa. Sakit terparah yang pernah kualami hanya 2 hari demam atau 1 hari diare. Pernah juga terpaksa harus terkapar 4 hari di rumah sakit, itu juga bukan karena aku sakit tapi karena baru menjalani operasi sectio caesaria untuk melahirkan balerinaku. Dan sesungguhnya selama 4 hari itu aku tidak terkapar. Kupikir aku ini memang sakti...

Kesaktianku kudapat dari hasil tempaan selama 40 tahun hidup nyaris tanpa antibiotika. Dalam tahun-tahun pertama hidupku, aku terbiasa bermain sambil menantang angin tanpa baju yang menutupi tubuh. Didukung makanan sehat secukupnya yang diberikan orangtuaku. Bisa dibilang, aku jarang sakit, dalam satu tahun belum tentu aku terkena batuk-pilek. Rapor SD hingga SMA ku bersih dari absen. Kalaupun terkena demam, hanya dengan 2 atau 3 kali minum asam asetil salisilat, sembuh. Kupikir aku ini memang sakti...

Ketika kuliah, hidupku lebih jorok. Makan siangku seringkali dilakukan di atas parit besar di depan kampus yang berhadapan langsung dengan jalan raya. Tampaknya ini justru mempertajam kesaktianku. Ups... tidak persis demikian. Untuk pertama kalinya aku kena flu berat yang membuatku demam dan menggigil hingga 2 hari. Aku kena sinusitis dan diberikan antibiotik entah golongan apa yang betul-betul tokcer, baru minum 2 kapsul...langsung sembuh. Terapi antibiotika pertama dalam hidupku. Kupikir aku masih sakti....

Hidupku selanjutnya ketika menyerahkan diri ke daerah endemik malaria selama 2 tahun memberi pengalaman unik bagi diriku. Udara yang panas disertai angin kencang tidak membuatku sakit. Mungkin parasit malaria pernah mampir di tubuhku, tapi aku tidak pernah mengalami gejala-gejala penderita malaria umumnya. Paling banter, di bulan-bulan terakhir, pada hari-hari lemahku tiap bulan aku mengalami demam selama 1 hari yang hilang sendiri keesokan harinya. Kupikir aku ini memang betul-betul sakti....

Setelah menjalani hidup bersama guru hebatku, kesaktianku makin terasah dengan mengicipi makanan segala rupa, mulai dari mi tek-tek sampai tahu gejrot, mulai dari sang-sang sampai RW, mulai dari sup ular sampai bahn mi thit, mulai dari tom yam soup sampai lasagna. Kupikir aku ini sakti.....

Aku begitu yakin dengan kesaktianku yang tanpa vaksinasi hepatitis ternyata aku bebas hepatitis meskipun pekerjaanku tergolong kelompok resiko tertinggi terinfeksi. Hingga April tahun lalu, aku tidak habis pikir bagaimana aku bisa terkena demam berdarah! Disusul pengalaman terkapar akibat tifus selama 2 minggu yang baru lalu. Ternyata kesaktianku bisa berkurang. Mungkin kini faktor "U" banyak mengambil peran. Kupikir aku mulai kehilangan kesaktianku.....hiks....

Minggu, 01 Februari 2009

Langkah pertama - kenekadan mengatasi rasa takut

Pertama kali aku mendengar istilah "Segala sesuatu harus dimulai dengan langkah pertama" adalah ketika Valen mengucapkannya tahun 1992. Mungkin sebelumnya pernah ada yang menyebutkannya atau pernah kubaca, tapi tidak bermakna mendalam bagiku. Waktu itu belum ada PDGI cabang NTT. Tidak ada yang berani memulai, karena ragu-ragu melihat medan yang sulit ditempuh untuk mempertemukan seluruh dokter gigi se-NTT. Tidak ada yang berani mencalonkan diri menjadi ketua, mungkin merasa sungkan dengan beberapa dokter gigi senior yang sudah berada di Kupang selama belasan atau puluhan tahun. Ketika suara terbesar memilih Valen untuk menjadi ketua, kata sambutannya diawali dengan istilah di atas. Dia bersedia melakukan langkah pertama itu dan setelah itu PDGI cabang NTT mulai tumbuh...entah bagaimana keberadaannya sekarang.

Bukan PDGI cabang NTT yang mau kubicarakan di sini. Tapi istilah "Segala sesuatu harus dimulai dengan langkah pertama". Seringkali bagian tersulit dari suatu pekerjaan adalah melakukan langkah pertama.

Ada rasa ragu ketika aku pertama kali menginjak pedal untuk menggerakan motor pemutar mata bor di dalam handpiece. Takut kalau mata bor itu berputar terlalu cepat dan menggerinda jaringan gigi yang sehat. Ternyata yang membuat mata bor salah menggerinda bukan besarnya tekanan kakiku pada pedal, tapi tremor tanganku yang menggetarkan handpiece. Perlu beberapa kali latihan dan sedikit kenekadan untuk membiasakan koordinasi kaki dan tangan dalam mengontrol gerakan mata bor. Syukurlah tahap ini aku lalui dalam usia mudaku, sehingga tidak terlalu sulit untuk melakukan langkah pertama mengebor gigi. Gigi asli, namun yang sudah tercabut dari rahang dan ditanam pada rahang tiruan yang terbuat dari gips.

Ada langkah pertama yang cukup sulit dilakukan karena terjadi ketika aku tidak muda lagi, yaitu ketika belajar mengendarai motor. Terlalu banyak hal yang aku pertimbangkan, sehingga kadar nekadku sangat kecil dibandingkan pertimbangan-pertimbanganku. Ketika sekali waktu motorku jatuh di U turn, hal ini membuatku takut untuk mulai belajar lagi. Perlu waktu berbulan-bulan dan diomeli guru hebatku serta tentunya kenekadan untuk membuatku berani untuk belajar lagi.

Ada sebuah langkah pertama yang prosesnya sangat lama. Perlu waktu 30 tahun bagiku untuk menciptakan momen bernafas selama berenang. Aku belajar berenang sejak usia 13 tahun. Setiap minggu aku berenang dengan rombongan sekolahku. Dari pertemuan tiap minggu itu, aku belajar berenang dengan gaya bebas, gaya punggung, gaya katak. Hanya satu kekuranganku, yaitu tidak mengambil nafas selama berenang. Hanya satu, tapi artinya aku tidak bisa berenang! Banyak orang berusaha mengajarkanku mengambil nafas, mulai dari guru olahraga yang memang kewajibannya sebagai guru sampai teman-teman yang merasa kasihan melihatku berenang dengan gayaku. Semua orang yang berusaha mengajariku pasti sudah melihatku yang keselak air setiap kali mau mengambil nafas. Aku baru berhasil mengambil nafas dengan benar belum lama ini. Ternyata bukan kenekadan yang diperlukan untuk mengambil nafas, tapi ketenangan pada saat mengubah arah wajah dari menghadap air menjadi menghadap udara. Semudah itu. Langkah pertama yang harus diperjuangkan selama 30 tahun! Setelah itu aku sangat menikmati renang.

Langkah pertama belum tentu bermanfaat. Kadang-kadang setelah melalui perjuangan berat untuk melakukan langkah pertama, ternyata tidak ada apa-apa di depan. Atau setelah langkah pertama dilalui dengan berat, juga beberapa langkah selanjutnya, ternyata jalan yang diambil salah, karena ada jalan lain yang sangat mudah dilakukan tanpa perlu perjuangan berat untuk melakukan langkah pertama.

Saat ini aku belum berhasil melakukan langkah pertama untuk scuba diving : mencemplungkan diri ke dalam air dengan cara melangkah ke dalam air. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku takut untuk masuk ke air dengan cara melangkah. Meskipun aku pernah melakukannya sekali, aku tidak tahu apa yang membuatku mampu melakukannya. Tidak ada yang kuingat, tau-tau aku sudah berada di air. Yang pasti aku tetap dapat melakukan scuba diving tanpa perlu melangkah ke dalam air sebelumnya, karena aku dapat masuk air dengan cara menjatuhkan punggung lebih dahulu. Golongan langkah pertama yang mana ya ini?

Senin, 12 Januari 2009

BISUL 3 BULAN

Aku punya 2 "bisul" selama 3 bulan ini. Bisul yang bikin kulit di sekitarnya tegang, kadang-kadang menyakitkan. Tanggal 3 Januari yang lalu, bisul pertama sudah pecah, disusul yang kedua 1 minggu kemudian, Sabtu kemarin. Lega rasanya.

Terakhir terlibat di kepanitiaan rasanya sudah lamaaaaaa.... sekali. Selama ini lebih banyak menjadi penonton dan penikmat saja. Entah kenapa, bisa bersamaan, tau-tau kok aku ditunjuk jadi panitia reuni SMA sekaligus juga panitia kebersamaan keluarga pendeta. Herannya lagi, dua-duanya "kerjaan tukang", yang pertama jadi sekretaris, yang kedua jadi seksi publikasi dan anggota seksi dokumentasi. "Kerjaan tukang"?

Ternyata jadi sekretaris itu bukan cuma mencatat risalah rapat atau membuat surat, tapi juga bikin denah lokasi, mencari alamat pendeta dan majelis jemaat yang akan dikirimi undangan , fotokopi surat, melipat, menyisipkan pamflet, memasukkan ke amplop, mengelim, menempelkan alamat surat, mengatur distribusinya. Jumlah surat 400-an eksemplar. Gemporlah fisik awak! Terakhir aku jadi sekretaris duluuuuu sekali, 20 tahun yang lalu, itupun cuma sekretaris komisi pemuda jemaat, yang ruang lingkupnya sangat kecil. Tidak ada pengalaman sama sekali, jadi rangkaian kerja di atas baru selesai dalam 1 minggu!

Belum selesai.... karana setelah terkirim, aku juga harus menjadi menerima pendaftaran juga karena tidak ada seksi pendaftaran. Belum lagi mengirim sms untuk minta konfirmasi karena setelah 1 minggu baru 2 orang yang merespon surat undangan.... membalas sms, mencatat di daftar calon peserta, bahkan sampai 1 hari sebelum acara, masih ada yang baru mendaftar, membatalkan kehadiran.... Betul-betul pekerjaan tukang! Karena itu aku sama sekali tidak mau terlibat dalam persiapan acara, biarkan sie acara yang sibuk menyusun acara dan menyiapkan perlengkapan.

Seksi Publikasi dan anggota seksi dokumentasi panitia reuni... kerjaan tukang?
Yang pertama sebetulnya bukan, karena aku menyukainya. Tidak terlalu banyak menguras tenaga. Ini sebetulnya tugas utamaku sejak bulan agustus. Tapi ketika ada pengunduran diri beberapa orang, aku dipaksa masuk ke seksi dokumentasi. Beda dengan seksi dokumentasi umumnya (entah ini salah istilah atau umumnya yang salah istilah, kerja seksi ini tidak ada hubungannya dengan dokumentasi pelaksanaan acara. Yang dilakukan seksi ini adalah pengumpulan data alumni. Ini artinya harus mengontak, mencari teman-teman yang belum jelas rimbanya. Memang, tinggal menyelesaikan sedikit lagi, tapi waktunya juga tinggal sedikit. Tidak seluruh data alumni terkumpul, karena ada beberapa orang yang memang tidak meninggalkan jejak di manapun sehingga tidak terlacak.

Setelah itu aku juga dilibatkan dalam memeriksa pembuatan buku yang berisi data alumni.... lumayan bikin mata jereng lah! Jangan heran kalau setelah itu aku minta cuti dulu 10 hari.... menyepi, mengolesi bisul dengan salep supaya tidak terlalu tegang dan sakit.

Tanggal 3 Januari, bisul pertama pecah.... ketegangan sudah berkurang dan tampaknya bisul kedua juga mulai mengecil sedikit-sedikit, jadi tidak terlalu terasa menyakitkan. Pecahnya bisul kedua pada tanggal 10 kemarin rasanya betul-betul membuat lega.... selesai juga! Bisul-bisul itu membuatku tidak punya waktu untuk menulis di blog. Selama 3 bulan, aku hanya sempat 3 kali membuka blog-ku dan selalu terheran-heran.... tanpa ada artikel baru, ternyata pengunjung blog-ku naik pesat...
Bisul-bisul itu juga membuatku tidak sempat membaca email dari milis greenlifestyle dan indonesia choral lovers..... juga tidak mengijinkanku untuk terlibat dalam konser Asian Culture....(untungnya masih sempat ikut nyanyi di pernikahan Pak Anton!). Masih banyak hal-hal menarik yang tidak sempat kulakukan gara-gara bisul-bisul itu...

eh.... meskipun ada bisul, aku sempet belajar diving juga lho di tempatnya Agung. Meski hanya teori (udah lulus nih....) dan 1 kali praktek di kolam renang. Dunia baru yang menggoda......
 
Copyright 2009 Kupikir.... Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase