Kamis, 19 Maret 2009

Telepon dan surat, sarana komunikasi andalan

15 tahun yang lalu, sebelum tekhnologi ponsel, internet apalagi facebook memasuki Kupang, di sanalah aku berada. Tidak persis di kota Kupang, namun di pinggiran, tempat bandar udara berada. Rumah masih jarang, bisa dibilang tidak ada. Yang ada hanya beberapa gedung milik pemda : Balai Latihan Kesehatan Masyarakat dan beberapa gedung milik Dinas Kesehatan dalam satu lokasi. Sekitar 2 km dari lokasi itu, terletak Lembaga Pemasyarakatan. 5 km ke arah yang berbeda ada kompleks Angkatan Udara yang relatif lebih padat dibandingkan lokasi milik Dinas Kesehatan. Dengan jarangnya penduduk di daerah itu, bisa dimaklumi kalau jaringan teleponpun belum menjangkau Penfui, tempatku berada.

Berada jauh dari keluarga untuk pertamakali, seringkali muncul rasa kesepian dan kangen. Untuk mengatasinya, aku menggunakan dua cara yaitu menggunakan warung telepon di Kupang milik PT Telkom dan menulis surat.

Telepon

Untuk menelepon, biasanya aku memanfaatkan waktu diskon, yaitu di atas jam 6 sore atau sebelum jam 6 pagi. Seberapa murah? Rp 1.000,- / menit untuk menelepon seseorang di Jakarta. Bandingkan dengan telepon selular jaman sekarang.... Sebetulnya lebih murah lagi, bila di atas jam 8 malam. Ada trik khusus yang aku gunakan untuk memanfaatkan telepon murah itu. Bila aku menelepon pada sore hari, aku mencari waktu yang bertepatan dengan acara keluar Rytha. Maklum, dia punya mobil, jadi untuk pulang, aku bisa nebeng dia pulang. Aku tidak mungkin naik angkot untuk pulang, karena di atas jam 6 sore sudah tidak ada angkot yang beroperasi ke Penfui. Bila aku menelepon pada pagi hari, malam sebelumnya aku menginap di tempat kost Siriet yang ada di tengah kota Kupang.

Supaya usahaku untuk mencapai warung telepon tidak sia-sia, sejak beberapa minggu sebelumnya aku mengabari melalui surat agar penerima telepon menyediakan waktu untuk menerima teleponku. Kadang-kadang, surat kukirim beberapa kali untuk mengantisipasi seandainya ada surat yang tidak sampai ke penerimanya. Itupun tidak selalu efektif. Pernah suatu kali, meskipun sebelumnya aku sudah memberi tahu beberapa kali guru hebatku lewat surat, pada saatnya dia tidak ada di tempat karena ada rapat di gereja.

Tanpa jaringan telepon di Penfui memang tidak memungkinkanku untuk menerima telepon. Tapi untuk menelepon, aku tidak selalu berada di pihak yang harus membayar. Suatu kali, aku pernah menelepon Liani di Amerika untuk suatu hal yang sangat penting buatku, tapi rasanya tidak terlalu penting buat Liani. Yang melegakanku saat itu, biaya telepon ditanggung oleh Liani. Memang kakakku yang satu ini sangat penuh pengertian.... mana mampu aku menelepon dia dengan gaji CPNS ku yang hanya Rp. 800,-/bulan!

Di hari-hari akhirku di Kupang, jaringan telepon masuk Penfui! Aku sempat beberapa kali merasakan sensasi menggebu-gebu saat menerima telepon... berlari-lari dari mess ke kantor SPRG yang berjarak sekitar 300 meter... berbicara di telepon sambil terengah-engah... senangnya..... Berbahagialah teman-teman yang datang di SPRG setelah aku pergi....

Surat

Surat menyurat merupakan penghubung utamaku dengan keluarga dan guru hebatku selama di Kupang. Selama di Kupang, aku mengasah ketrampilan menuliskan segala yang kupikir dan kurasa. Sedikitnya 5 pucuk surat kubuat dalam seminggu. Di SPRG, aku adalah pengirim dan penerima surat terbanyak.

Lalu lintas surat dari dan ke SPRG dilayani oleh sebuah mobil pos yang datang 1 atau 2 kali seminggu. Pada awal atau akhir bulan biasanya 2 kali seminggu, karena banyak membawa wesel untuk siswa-siswi SPRG dan SMF (yang berlokasi sama dengan SPRG). Hari kunjungan mobil pos ke SPRG adalah Senin dan Kamis, karena itu aku menjadikan hari Minggu dan hari Rabu sebagai hari menulis surat.

Aku menulis apa saja, yang aku pikir dan rasakan, terutama untuk guru hebatku. Ada juga pertanyaan dan permintaan yang kutulis, tapi aku tidak pernah menunggu hingga pertanyaan dan permintaanku dijawab untuk menulis surat berikutnya. Aku menulis terus. Saat itu aku sering diingatkan tentang ahli-ahli astronomi yang mengirim sinyal kepada makhluk yang diduga hidup di bintang yang jauhnya beratus-ratus tahun cahaya dari bumi. Sinyal itu terus dikirimkan tanpa menunggu balasan, karena bila menunggu balasan, proses komunikasi akan menjadi sangaaaaattt luamaaaaaa.....

Sejak awal kedatanganku, aku sudah mengirim banyak surat. Setiap kali mobil pos datang ke SPRG tanpa membawa surat untukku, rasanya sediiihhhhh 'kali. Hingga 3 minggu berlalu, tidak ada 1 pun surat datang kepadaku. Dalam keadaan gundah gulana seperti itu, Lily bercerita tentang temannya yang tinggal di Timor Tengah Utara, untuk mencapai tempat itu harus mengendarai kuda beberapa kilometer dari Atambua. Karena sulitnya surat mencapai tempat tinggalnya, kasihnya putus di tengah jalan. Aduuuhhh....Ly, kenapa bercerita seperti itu pada saat aku lagi sensitif. Aku kan jadi malu ketika banyak yang tahu, bahkan beberapa siswa melihatku beberapa waktu lamanya berdiam diri di toilet untuk menguras air mataku dan hidungku....hiks!

Sekali waktu aku pernah membakar surat kaleng yang berisi rayuan yang membuatku tidak nyaman. Saat itu aku masih tinggal di Oeba bersama Dewi. Beberapa hari setelah itu, badanku gatal-gatal dan pada betis kananku ada bekas tusukan dikelilingi warna merah dan membengkak. Lesi seperti itu beberapa kali aku alami selama tinggal di Kupang, yaitu bekas gigitan lalat sapi. Tanpa diobati, lesi ini dan rasa gatal yang menyertainya baru hilang setelah 1 bulan lebih. Saat itu, karena baru pertama kali mengalami dan berdekatan dengan peristiwa bakar surat, aku mengira aku kena guna-guna pembuat surat itu. Bukan cuma aku, Dewi-pun mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Kenapa berpikir guna-guna? Itu karena termakan kasak-kusuk selama prajabatan tentang daerah-daerah yang masih dihuni pengguna ilmu hitam. Kalau sekarang kurenungkan.... guna-guna.... huahahahahahhaha....

Kamis, 12 Maret 2009

Bagiku saat itu, Kupang .......

Bayanganku sebelum berangkat, NTT adalah suatu daerah dengan tanah gersang, berudara panas dan susah air. Karena NTT adalah pilihanku sendiri, aku menyiapkan diri dengan tidak mengharapkan hal-hal yang terlalu muluk. Tujuannya agar aku betah tinggal di sana. Aku tidak mengharapkan akan melihat pohon hijau, juga tidak mengharapkan hidup bersenang-senang di sana.

Tentang tanah yang gersang

Ketika pesawat mau mendarat di bandara Eltari, aku terpesona melihat tanah pulau Timor yang hijau di mana-mana. Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan semula. Tentu saja, saat itu adalah bulan Februari, masih musim hujan. Meski curah hujan tidak sebanyak di pulau Jawa, airnya cukup untuk menghidupkan rumput-rumput. Hingga bulan Maret, rumput-rumput itu akan mencapai ketinggian hingga 2 meter.

Rumput setinggi 2 meter ini mengingatkanku pada jalan sepanjang 1 km yang harus kutempuh dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah dinasku di Penfui. Tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan ini. Kiri dan kanan sepanjang jalan ini adalah padang rumput. Bila berjalan pada bulan Februari hingga Maret, di siang hari rumput-rumput ini membentuk bayang-bayang yang melindungiku dari matahari. Tapi aku tidak pernah berani melakukannya di malam hari.... hiiii...bayangkan kalau tiba-tiba ada napi keluar dari sela-sela rumput itu! Ini bukan khayalan, karena lokasi tempat tinggalku berdekatan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Bagiku saat itu, Kupang cukup segar.

Memasuki bulan_bulan mei hingga september, pemandangan menjadi berubah sama sekali. Yang terlihat adalah kota Kupang yang hitam, yaitu warna karang yang ditutupi semak terbakar. Memang pada bulan-bulan itu matahari bersinar terik hingga membakar rumput-rumput. Tapi tidak seburuk itu.... masih ada tempat-tempat indah yang dihiasi oleh pohon bougenville dengan bunganya yang berwarna-warni. Tidak ada tempat lain yang pernah kulihat memiliki bunga bougenville seindah kota Kupang. Ada lagi yang menarik dan mungkin hanya ada di NTT yaitu bunga ungu yang menempel pada batang pohon flamboyan yang meranggas. Daun-daun rimbun pohon-pohon flamboyan memang sudah gugur, tapi pemandangan unik ini sungguh mengesankan. Aku tidak tahu pasti, apakah bunga-bunga ungu ini merupakan fase hidup flamboyan atau tumbuhan lain yang melekat pada pohon flamboyan dan baru kelihatan karena daun-daun flamboyan sudah gugur. Bagiku saat itu, Kupang cukup indah di mata.

Tentang udara yang panas

Udara di NTT memang panas, karena itu sebisa mungkin aku tidak bepergian pada siang hari. Biasanya aku keluar setelah pukul 4 sore ketika sinar matahari sudah tidak telalu menyengat. Bila terpaksa keluar di siang hari, aku membawa sejata yang sudah kupersiapkan sebelum berangkat, payung. Aku tidak peduli waktu Siriet menertawakanku dengan kebiasaanku berlindung di bawah payung. Di sana pula untuk pertamakali dalam hidupku, aku menggunakan sunblock lotion. Hasilnya, ketika aku kembali ke Jakarta 2 tahun kemudian, kulitku lebih cerah dibandingkan sebelum pergi! Karena sebelumnya, di Jakarta aku tidak pernah memikirkan perlunya berlindung dari sinar matahari.

Sinar matahari memang menyengat di NTT, tetapi udara tidak selalu panas. Pada bulan-bulan Februari hingga Juli, terutama malam hari udara terasa dingin karena angin barat berhembus. Udara dingin ini menjadi penghiburan bagiku sehingga bagiku saat itu panasnya Kupang tidak menyakitkan. Bagiku saat itu, panasnya kota Kupang tidak menyakitkan.

Tentang air yang sulit didapat

Pulau Timor adalah pulau karang, sehingga untuk mencapai sumber air harus dibuat sumur yang sangat dalam. Itu bayanganku semla. Ternyata ada banyak sumber mata air di kota Kupang dan sekitarnya. Banyak tempat di Kupang yang diberi nama dengan awalan Oe, yang berarti air. Ada Oeba, Oesapa, Oebufu, Oenesu, Oepura, dan banyak lagi. Ada lagi tempat yang diberi nama Air Mata, dan Fonten yang tentunya berasal dari kata fontain. Dari mata air-mata air inilah, air didistribusikan ke rumah-rumah penduduk. Memang pada bulan-bulan tertentu, aliran air tidak lancar. Tetapi karena aku tinggal di rumah dinas milik pemerintah, nyaris aku tidak pernah mengalami sulit air. Pada saat sulit air, ada truk yang mengantarkan air bersih. Bagiku saat itu, Kupang menyegarkan dan tak membuatku haus.

Ada banyak sumber-sumber air di sekitar kota Kupang dan biasanya menjadi tempat tujuan wisata. Seperti mata air di tempat lain, letaknya ada di ketinggian yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar, kemudian mengalir melalui batu-batuan ke bawah membentuk air terjun. Ternyata di pulau Timor tempat ini ada banyak dan masih asri, belum banyak disentuh oleh manusia. Bagiku saat itu Kupang menjadi tempat wisata yang menyenangkan.

Hal-hal tak terduga di atas membuat hidupku di Kupang selama 2 tahun menjadi bagian hidupku yang sangat mengesankan.... Aku tidak pernah menyesali keputusanku memilih NTT sebagai tempat WKS (wajib kerja sarjana) ku. Bae, sonde bae, Tanah Timor lebe bae.

Belalang berhidung mancung

Lain ladang, lain belalang. Pada 2 ladang tidak terlalu jauh jaraknya, ternyata bisa didapati belalang yang berbeda. Keberadaanku di Kupang 17 tahun yang lalu merupakan pengalaman pertamaku berada di ladang yang berbeda. Jadi maklum saja kalau aku sempat dikagetkan dengan belalang yang berbeda yang kujumpai di sana.

Masih sama-sama berada di Indonesia, ternyata ada beberapa kebiasaan khas orang Kupang yang tidak dijumpai di Jakarta. Ada kebiasaan-kebiasaan yang membuatku merasa risih ketika pertama kali melihatnya, tapi lama kelamaan menjadi biasa karena sering menjumpainya, misalnya gandengan-tangan di antara sesama laki-laki. Kalau di Jakarta hal ini mengesankan orientasi seksual yang tidak lazim di antara keduanya, ternyata di Kupang menunjukkan ikatan persahabatan yang baik.

Ada juga kebiasaan yang menambah ketrampilanku, yaitu kebiasaan menari. Orang NTT, dan rasanya hampir seluruh suku bangsa di Indonesia, biasa mengungkapkan rasa syukur, sukacita dengan menyelenggarakan pesta. Dalam setiap pesta ada hal yang tidak akan dilewatkan, yaitu menari. Semua orang NTT pasti dapat menari. Dalam suatu pesta, aku pernah menyaksikan seorang anak berusia sekitar 6 tahun menarikan gerakan cha-cha-cha dengan baik sekali. Ada 2 buah tarian rakyat yang selalu ditarikan dalam pesta, yaitu terasering dan rokatenda. Gerakan terasering mirip dengan poco-poco, dimana semua berdiri dalam satu arah kemudian melakukan gerakan ritmis bersama-sama. Tarian ini cukup mudah dipelajari. Sedangkan rokatenda (nama sebuah gunung berapi di Flores) agak sulit karena terdiri atas beberapa seri meskipun tiap seri merupakan variasi dari gerakan inti yang sama. Tarian ini dilakukan dalam sebuah lingkaran.

Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan berpesta, kendaraan umum di kota Kupang -disebut bemo- yang menarik bagi calon penumpang adalah bemo yang dilengkapi dengan bunyi musik keras dan hiasan interior dan eksterior yang menyolok. Kalau bemo tidak diberi hiasan, apalagi tanpa musik, bisa dipastikan jauh dari rejeki.

Ada kebiasaan yang berbeda 180 derajat dibandingkan kebiasaan orang Jakarta, yaitu cara berbicara. Orang Jakarta biasa menyingkat kata dengan mengambil bagian akhir kata, misalnya udah atau dah untuk kata sudah, bis untuk kata habis, aja untuk kata saja. Orang Kupang kebalikannya, menyingkat kata dengan mengambil bagian awal kata, misalnya su untuk kata sudah, pi untuk pergi, sa untuk saja. Aku memerlukan waktu cukup lama untuk membiasakan telingaku menangkap kata-kata mereka yang umumnya diucapkan dengan cepat. Tidak boleh ada yang tersinggung kalau ada orang yang berkata,"Lu sa pi", karena ini berarti "Kamu saja yang pergi"

Ada satu kebiasaan yang sebetulnya menarik, tapi tak dapat kulakukan, bukan karena merasa "tidak sreg" atau tidak mempunyai ketrampilan khususuntuk melakukannya, tapi hanya karena masalah anatomi muka. Pertemuan dua orang biasanya dilakukan dengan cara bersalaman sambil saling menempelkan hidung dan kemudian menggesekkannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan olehku yang berhidung pesek ini, bisa-bisa yang menempel bukan hidung tapi bibir! Salam 'hidung' ini biasanya dilakukan oleh dua orang yang cukup akrab, sedangkan untuk yang orang yang baru dikenal atau kurang dikenal, salam dilakukan dengan cara saling menempelkan batang hidung ke pipi. Salam seperti inilah yang sering kulakukan, misalnya ketika memberi selamat kepada penyelenggara pesta. Inipun agak sulit kulakukan lagi-lagi karena tulang hidungku tidak cukup tinggi. Jarang sekali aku berhasil menempelkan hidungku di pipi orang yang kusalami karena pada saat yang bersamaan aku juga harus memberikan pipiku untuk ditempeli hidungnya. Ada rasa "kenyal-kenyal empuk" di pipiku.....

Ladang yang ini memang dihuni oleh belalang -belalang yang mancung-mancung!

Jumat, 06 Maret 2009

PENGALAMAN PERTAMA, MEMBEKAS HINGGA BELASAN TAHUN

Pagi itu, pukul 4.30 suasana bandara Soekarno-Hatta lengang. Aku lupa apa yang membuatku berpikir saat itu bandara belum buka. Hehehe... emangnya restoran! Yang jelas aku melihat ada karyawan yang baru datang, mungkin yang akan bergiliran jaga dengan karyawan yang bertugas malam. Lalu ..... ada satpam yang membuka rolling door yang membatasi teras dan ruang tempat check-in. Apa iya...ada rolling door ya? Entahlah... yang jelas pk. 4.30 umumnya orang masih tidur, tapi di teras keberangkatan Garuda internasional ada banyak orang wajah-wajah sembab, entah kurang tidur atau terlalu banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarga. Itulah kami.

Kami adalah rombongan dokter gigi yang selama 3 minggu sebelumnya mengikuti pelatihan pra-jabatan di Lemah Abang – Bekasi. Hari itu kami diberangkatkan ke daerah masing-masing yang telah kami pilih sebelumnya. Rombongan pertama yang berangkat adalah rombongan yang menuju Irian Jaya (maaf kalau nama ini yang dipakai, sesuai dengan konteksnya) dengan pesawat yang berangkat pk 5.00. Aku masih sempat melihat beberapa teman tujuan Irian Jaya tergopoh-gopoh memasuki ruang check-in. Yah, resiko memililh tempat terjauh, jadi berangkatpun harus lebih dahulu.

Tepat pk 5.00 rombongan yang menuju NTT dan TimTim (saat itu masih merupakan wilayah Indonesia) diijinkan masuk ruang check-in. Kami terdiri dari 7 orang yang akan mendarat di Kupang dan sekitar 13 orang mendarat di Dili. Rasanya aku ingin menjadi yang terakhir memasuki ruangan itu supaya menjadi orang terakhir dalam rombongan yang berpisah dengan keluarganya. Tapi ternyata semua juga berpikir demikian.... bisa-bisa kami ketinggalan pesawat! Akhirnya kami semua saling mendorong untuk segera masuk.

Setiap ada kesempatan, aku berusaha menoleh ke teras, mencari-cari wajah orang-orang yang kukasihi, kemudian melambaikan tangan bila ternyata mereka masih terlihat ... berulang-ulang.... Semakin ke dalam aku berjalan, wajah-wajah mereka makin tidak jelas, hingga yang terlihat tinggal sosoknya saja. Mungkin sebetulnya mereka sudah pulang, tapi aku terus membayangkan seolah-olah masih melihat sosok mereka bahkan ketika sudah sampai di lorong menuju ruang tunggu penumpang. Lorong yang dikelilingi jendela kaca dan dihiasi tanaman hias di bagian luarnya.

Meski dalam rombongan yang masing-masing sudah cukup akrab semenjak mengikuti pra-jabatan, aku merasa nelangsa ketika berjalan melalui lorong ini. Tanaman hias warna-warni itu juga tidak mampu menghilangkan perasaan ini. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki pesawat terbang, pergi ke tempat yang cukup jauh dari Jakarta dalam jangka waktu panjang, tanpa seorangpun anggota keluarga yang menemani. Pengalaman berjalan di lorong dengan perasaan nelangsa itu selalu muncul kembali setiap kali melalui lorong sejenis di bandara, bahkan hingga saat ini. Rasa kesepian yang mencekam.....
 
Copyright 2009 Kupikir.... Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase