Senin, 31 Agustus 2009

Nasi uduk hijau


Sudah biasa dengan nasi uduk yang putih, kemarin kebetulan ada waktu, aku mencoba mencampur santan dengan pohcai yang diblender. Larutan inilah, dicampur dengan bumbu nasi uduk lainnya, yang kupakai untuk menanak nasi uduk. Untuk memberi rasa yang khas nasi uduk hijau, aku menggunakan banyak daun jeruk. Sewaktu masih diaron, warna hijaunya bagus seperti sayur segar. Tapi setelah dikukus, warnanya lama kelamaan pudar, dan menjadi agak kekuningan, seperti warna sayur yang terlalu lama dimasak. Tapi lumayan, masih cukup menarik untuk disajikan. Disajikan bersama tumis tahu, sambel goreng kering kentang, sambal goreng telur puyuh dan kentang, krupuk udang dan emping. Sesuatu yang berbeda.

Kupikir...
Lain kali, untuk menbuat warna hijau, aku akan menggunakan daun suji saja.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Waria dan perempuan di Thailand

Hampir semua orang pernah mendengar tentang kontes waria yang diselenggarakan di Thailand. Kalau melihat foto-foto mereka di missladyboy.com , tentu banyak yang mengakui kecantikan dan keanggunan mereka.

Tampaknya, ladyboy, istilah yang menunjuk pada waria, di Thailand adalah hal yang biasa. Artinya sebagai gender ketiga, mereka hidup berdampingan dengan gender yang lainnya. Mereka bekerja di banyak sektor dan terlihat wajar-wajar saja. Mereka tidak tampak salah tingkah dan tidak dituding-tuding atau diasingkan oleh sekitarnya. Mereka hadir sebagai orang biasa, meskipun berbeda dengan yang lain. Keberbedaan yang diterima sebagai hal yang biasa.

Dalam kunjuganku selama 2 minggu, cukup sering aku menjumpai mereka. Mereka hadir sebagai resepsionis hotel, petugas kebersihan, juga kenek perahu. Mereka memang sesama manusia dan seharusnya diperlakukan seperti manusia umumnya. Sesuatu yang sulit bagi masyarakat yang bahkan untuk memperlakukan perempuan sebagai manusia biasa saja, sulit.

Soal sikap terhadap perempuan. Alangkah nyamannya berjalan-jalan di kota Ao Nang atau Koh Tao atau kota-kota pantai lainnya di Thailand setelah bermain di laut seharian tanpa disibukkan dengan urusan ganti pakaian. Tidak ada sorotan mata iseng, tidak ada pandangan sinis, tidak ada siulan iseng. Saat menikmati jalan-jalan seperti ini, aku membandingkannya pada ketidaknyamanan duduk di angkot di kota Tangerang. Inilah salah satu sebab aku tidak menyukai kostum rok. Di halte-halte liar tempat angkot ngetem, banyak laki-laki muda berjongkok yang sudah siap dengan mata yang mengarah setinggi tempat duduk angkot. Mata liar yang berasal dari pikiran yang tidak menghargai perempuan sebagai sesama manusia. Mata liar yang berharap menjumpai perempuan memakai rok mini. Mata yang bertengger di kepala yang akan berjuang keras menundukkan serendah mungkin bila menjumpai perempuan memakai rok sedikit lebih panjang dari lutut. Kepala yang pikirannya memandang perempuan hanya sebagai obyek.

Bagaimana terhadap waria.... ?

 
Copyright 2009 Kupikir.... Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase