Dari Jakarta sebelum tiba di Kupang, kami transit di Denpasar, menunggu selama 1,5 jam sebelum masuk ke pesawat yang lebih kecil. Tidak ada belalai yang menghubungkan ruang tunggu penumpang dengan pintu pesawat seperti di Soekarno-Hatta. Kami harus berjalan kaki lumayan jauh dari ruang tunggu penumpang hingga ke tangga pesawat. Dengan koper belasan kilogram itu! Untung ada Siriet yang jalannya cukup lambat sehingga aku mendapat teman untuk berlelet-ria.
Dalam perjalanan menuju tangga pesawat di bawah terik matahari, aku disapa oleh seorang bapak berbadan besar, tidak terlalu tinggi, berkacamata dan berwajah ramah, ”Ini rombongan dokter yang mau ke Kupang ya?” Rombongan kami yang terdiri atas 7 orang yang akan turun di Kupang dan sekitar 13 orang turun di Dili. Mungkin tingkah laku kami mencolok mata, sehingga bapak itu menyapa saya, yang kebetulan berjalan di dekatnya.
Bawaanku yang berat memperlambat jalanku. Meskipun Si Bapak tadi jelas-jelas lebih berat daripada koperku, tapi dia membawanya setiap hari, setiap jam sepanjang tahun, jadi pasti sudah terbiasa. Buktinya dia bisa berjalan lebih cepat dan memasuki badan pesawat lebih dahulu. Ketika aku akhirnya berhasil masuk meskti dengan nafas terengah-engah, Si Bapak sudah duduk dengan manisnya di bangku paling depan di barisan kanan. Bangku di sebelahnya masih kosong. Eh... Si Bapak menyapaku lagi, ”Yuk, duduk di sini.” dengan senyumnya yang ramah itu sambil menunjuk bangku di sebelahnya..... ”Terimakasih, Pak. Bangku saya di belakang.” Duh... kok iseng banget sih!
Hari ketiga di Kupang..... kami ber-7 diundang ke kantor Pak Fernandez, gubernur NTT saat itu. Selama tiga hari pertama, semua orang asli NTT yang kami jumpai membuat kami berpikir bahwa semua orang Kupang tirus, hitam terbakar, rambut keriting dan berwajah susah. Jangan salahkan kami kalau kami membayangkan sedang menanti orang serupa ini di ruangan besar dan sejuk di kantor gubernur.
Kami tidak perlu menunggu lama dan membayangkan yang tidak-tidak. Tidak sampai 15 menit....muncullah sosok yang tidak asing buatku. Tiba-tiba Siriet menyikutku, membuat nafasku tertahan sejenak. Si Bapak yang menyapaku di Denpasar! Untung posisi dudukku cukup terhalang oleh teman-temanku yang lain, jadi pasti Si Bapak tidak akan melihatku.