Selasa, 21 April 2009

Penghuni rumah

Berada di tempat yang jauh dari keluarga dalam jangka waktu yang panjang kadangkala membuat hati dan pikiran menjadi kesepian. Pada saat-saat seperti ini, menulis surat atau membaca ulang surat-surat, mendengarkan kaset atau membaca bahkan tidak bisa menghilangkan rasa kesepian. Jangan heran kalau kemudian ada hal-hal aneh yang terjadi, mulai dari imajinasi ngawur hingga persahabatan dengan binatang.

6 bulan pertama, aku tinggal di sebuah rumah di daerah Oeba yang kukontrak bersama Dewi. Rumah kecil yang terdiri dari kamar tamu, 3 buah kamar tidur, ruang makan dan dapur serta kamar mandi dengan bak air besar yang berada di luar bangunan rumah utama. Rumah berdinding bebak (bahasa Kupang yang berarti batang daun lontar), berlantai semen dan beratap daun lontar. Bentuk rumah seperti ini adalah bentuk umum yang ada di Kota Kupang. Batang daun lontar yang disusun berderet secara vertikal membuat sirkulasi udara yang baik di dalam rumah, sehingga rumah terasa sejuk.

Aku mendapatkan kamar yang ada di depan, Dewi mendapat kamar tengah, persis di belakang kamarku. Sedangkan kamar yang satu lagi kami gunakan sebagai gudang. Kami memperlakukan rumah kontrakan ini sama seperti rumah kami sendiri. Kami memeliharanya dengan baik dan menjaga kebersihannya bersama-sama. Sebelum berangkat kerja, kami bersama-sama menyapu, mengepel, melap perabotan. Ada satu tempat yang membuat kami segan membersihkannya, sebisa mungkin kami menghindari bagian ini, yaitu kamar tidur yang kami gunakan sebagai gudang. Kami merasa tidak nyaman kalau berada di kamar itu.

Suatu kali, Dewi mendapat tugas untuk mengikuti pelatihan selama 2 minggu di Jakarta. Aku tinggal sendirian. Pada hari Minggu aku menyaksikan TV yang ada di kamar Dewi sambil tidur-tiduran di tempat tidurnya, hingga jatuh tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena lapar dan menyadari TV dan booster mati. Anehnya, TV tidak dalam posisi stand-by dan kain penutup sudah terpasang rapi menutupi TV. Siapakah yang merapikan ini semua? Apakah ada penghuni rumah selain aku? Besoknya, dan hari-hari selanjutnya hingga tiba waktunya Dewi pulang, aku tidak berani tinggal di rumah itu sendirian. Karena itu aku menginap di tempat kost Siriet.

Rumah berikutnya yang aku diami selama di Kupang adalah rumah dinas SPRG yang berada di lokasi sekolah dan asrama siswa SPRG dan SMF. Aku menempati rumah di sudut dengan kolam kering di belakangnya. Beberapa minggu sebelum aku memasuki rumah itu, ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi di asrama puteri SPRG. Beberapa siswi yang bangun dari tidurnya mendapati dirinya sudah tidak berbusana dan pakaiannya sudah terlipat rapi di atas meja. Rupanya ada penghuni porno di asrama SPRG.

Ada lagi cerita-cerita tidak masuk akal yang dialami siswa-siswa SPRG di rumah yang akan kumasuki (mereka tinggal di sana ketika asrama putera belum jadi). Aku lebih takut pada cerita tentang napi yang kabur dari LP yang berjarak 1 km dari SPRG dan beberapa kali kedapatan melompati tembok di belakang rumahku. Aku pasti akan mati berdiri bila ada napi yang menawarkan diri untuk menjadi penghuni baru di rumahku.

Memang ada rasa ngeri di hati, tapi tekadku sudah bulat untuk pindah ke rumah dinas. Dan memang akhirnya setelah aku menempati rumah itu, bisa dibilang aku tidak mengalami kejadian apa-apa. Hanya satu kali, ketika sedang istirahat siang, aku merasa dibangunkan oleh seseorang. Karena masih mengantuk, aku tidak mampu membuka mata apalagi untuk duduk. Tapi aku merasa di ujung kakiku berdiri suatu makhluk besar hitam yang menahan tubuhku sehingga tidak bisa bangun. Penghuni gelap? Ah... aku cenderung menduga itu hanya bayangan yang muncul akibat kesadaranku saat itu masih belum pulih saja. Tentu saja dalam keadaan belum sadar, tubuh akan sulit mengikuti keinginan pikiran.

Suatu kali, Arief dan Haryanto, rekan sesama peserta prajabatan yang ditempatkan di TimTim mengunjungiku. Keduanya mengaku dapat melihat makhluk dari dunia lain dan menurut mereka memang rumah dinasku itu ada 'penunggunya'. Entah sekedar menghiburku atau memang kenyataan, mereka mengatakan bahwa 'penunggu' ini tidak akan mengganggu penghuni rumah, malah melindungi. Persetan dengan penghuni yang mau menunggui rumahku....

Beberapa bulan sebelum aku mengakhiri masa wajib kerjaku, rumahku didatangi penghuni baru. Penghuni yang betul-betul nyata sosoknya dan membuatku betah tinggal di rumah. Kedatangannya sangat tiba-tiba, tanpa basa-basi dan membuatku terkejut. Dia memasuki rumahku ketika aku sedang pergi. Aku sungguh-sungguh berteriak kaget ketika pulang dan mendapatinya di ruang tamu. Sosoknya yang mengerikan betul-betul membuatku lemas.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku melihat TOKEK dan apesnya, jenis tokek yang kulihat saat itu jenis yang mengerikan. Tekstur kulitnya bergerigi mirip iguana, berwarna coklat tua dan saat kujumpai sedang menempel di dinding yang berhadapan langsung dengan pintu masuk. Saat itu aku tidak tahu makhluk apa yang menempel di dinding itu. Besok paginya, saat dia berbunyi "krrr....krrrr....tk...tk...tokek" barulah aku mengetahuinya. Perlu waktu beberapa hari bagiku untuk membiasakan diri dengan penghuni baru itu.

Rupanya si tokek merasa betah tinggal bersamaku. Kebersamaan kami cukup membuatku kadang-kadang ingin cepat-cepat pulang untuk melihat temanku yang satu ini. Meskipun kami tidak dapat saling berkomunikasi, rasanya ada ikatan halus di antara kami. Kira-kira 2 bulan dia menemaniku sebelum dia pindah ke rumah sebelah. Sesudahnya, hingga saat ini aku tidak pernah lagi melihat tokek dengan bentuk seperti itu.

Penghuni lainnya adalah seekor kodok yang bermukim di pinggir kolam kering di belakang rumah. Dia muncul pertama kali pada awal musim hujan bulan Oktober 1992. Suaranya yang besar, kadang-kadang mengiringi suara air hujan di malam hari, membuatku tidak merasa kesepian. Dan pengalaman inilah yang memberi pencerahan padaku, bahwa usia kodok itu bisa lebih dari 1 tahun, sebab si kodok ini tidak pernah pindah dari kolam kering itu dan terus berbunyi hingga musim hujan tahun berikutnya berlalu.

Nafsiah Mboi yang kukenal

Hanya satu kali selama sekitar 3-4 jam aku melihatnya, tapi beliau meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Saat itu aku diajak Ibu Widya menghadiri pesta ulangtahun Pak Ben. Rumahnya besar dan cukup mewah dibanding rumah-rumah lain di Kupang pada masa itu. Maklumlah, mantan gubernur. Namun status yang tinggi ini tidak membuat keluarga ini bersikap sombong. Hal pertama yang menarik hatiku ada penampilan Ibu Nafsiah. Dalam gaun panjangnya, Ibu terlihat sangat anggun, namun tidak berkesan "lebih" dibandingkan Pak Ben yang saat itu berkostum T Shirt dan celana pendek. Keduanya tampak serasi saat menyambut hangat tamu-tamu yang datang.

Hal kedua adalah saat santap malam. Ibu Nafsiah sibuk mengundang tamu-tamu untuk makan, sedangkan beliau sendiri sama sekali tidak menyentuh makanan sedikitpun! Wuuiiihh...pantas, badannya begitu bagus, tidak nampak sama sekali timbunan lemak. Menurut Ibu Widya, itu adalah kebiasaannya dalam setiap jamuan malam. Satu-satunya makanan yang bisa masuk ke mulutnya hanya sedikit salad.

Setelah agak malam, tibalah acara menari. Hampir semua hadirin turun menari, dari dansa, cha-cha-cha hingga rokatenda. Menari dalam pesta merupakan suatu keharusan di masyarakat NTT. Jadi kalau ada yang tidak menari, bisa dipastikan bukan orang NTT, aku adalah contohnya. Malam itu aku duduk mengamati orang-orang menari, termasuk di antaranya Ibu Nafsiah. Gerakannya sangat luwes dan lincah. Hingga menjelang tengah malam, ketika suasana makin menghangat, Ibu Nafsiah berganti kostum : kemeja dan celana panjang. Wah... setelah itu gerakan tariannya makin indah dilihat. Dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Ramah, supel, menjaga penampilan, pandai menari, itulah kesan pertamaku melihat Ibu Nafsiah. Hingga bertahun-tahun setelah itu, aku selalu mengingat kesan-kesan yang ditinggalkannya di hatiku. Ketika beliau aktif dalam gerakan peduli AIDS, ketika menjadi anggota dewan... aku melihatnya sebagai bagian yang memang pantas melekat pada dirinya.

Kamis, 16 April 2009

Kampanye Pemilu 1992

Pemilu sudah usai. Kejadian-kejadian selama masa kampanye dan pemilu baru lalu mengingatkanku pada pemilu tahun 1992 saat aku masih menjadi PNS dan dengan sendirinya menjadi anggota Korpri. Sudah menjadi rahasia umum waktu itu, pengertian mono loyalitas tunggal Korpri berarti loyal pada Golkar. Rahasia yang baru aku pahami ketika mengikuti latihan prajabatan sebelum berangkat ke Kupang. Meskipun menurut teori, mono loyalitas menjurus pada kesetiaan kepada bangsa dan negara, secara blak-blakan para fasilitator menegaskan kesetiaan kepada bangsa dan negara otomatis berarti kesetiaan kepada Golkar.

Pertengahan Mei 1992 merupakan masa kampanye menjelang Pemilu. Suatu siang ketika aku sedang 'leyeh-leyeh' di kamar kontrakanku di Oeba, tetangga belakang memanggil-manggil aku dan Dewi. (Rumah-rumah di Oeba umumnya tidak berpagar, jadi dari pintu belakang rumah kontrakanku, aku bisa berbicara dengan tetangga belakangku dan sebaliknya). Tetanggaku yang satu ini pegawai Kanwil DepKes NTT. Dia memberitahu bahwa siang ini ada kampanye Golkar dan semua pegawai harus datang dan ada absensi. Karyawan SPRG tidak sempat diberitahu, karena tidak ada jaringan telepon.

Akhirnya dengan rasa kesal karena harus meninggalkan waktu istirahatku, aku dan Dewi berangkat menuju lapangan A. Yani yang tidak jauh dari Oeba. Saat itu pukul 3 siang, panas matahari terasa menyengat. Untungnya, di lapangan tersebut masih ada pepohonan yang cukup rindang dan kami mendapat tempat berdiri di dalam bayang-bayang rimbunan daun. Aku tidak tahu apa yang dikampanyekan karena sepanjang acara kami membuat kegiatan sendiri. Ujung-ujungnya...tidak ada absensi!

Ada beberapa cerita lain tentang musim kampanye 1992. Suatu hari, siswa-siswi SPRG diliburkan dan dikerahkan untuk mengikuti kampanye Golkar. Sakit hatinya, hari itu sebetulnya ada ulangan pelajaran yang aku berikan. Batal! Cerita lainnya terjadi beberapa hari sebelum pengerahan siswa-siswi SPRG, ada pegawai Puskesmas Tarus yang dipanggil oleh Camat Tarus karena ada desas-desus pegawai itu mengikuti kampanye PDI. Emangnye kenape?

Cerita-cerita di atas tentunya merupakan cerita biasa kalau dibaca saat ini. Tapi bagiku saat itu yang baru pertama kali mengalami pemaksaan untuk setia pada Golkar, huuh... benar-benar menyebalkan. Saat itulah untuk pertama kalinya aku menjadi Golput. Djoni yang tahu aku akan menjadi golput, mengingatkanku bahwa kertas suara sudah diberi tanda, jadi yang tidak memilih Golkar akan ketahuan. Akibatnya akan mempengaruhi karir sebagai PNS. Oooo.... pantas...2 tahun kemudian, aku dengan mudahnya mendapat rekomendasi untuk keluar dari PNS, juga keluar dari Kupang.....

Selasa, 14 April 2009

Edu Pah, orangtua angkatku

Hari terakhir libur Paskah 1992 kupakai untuk menemani Siriet ke Puskesmasnya di Tarus yang ternyata masih tutup karena karyawan libur juga. Karena sudah kadung sampai Tarus, kami mencari rumah Pak Edu Pah yang berada di Tarus juga. Beliau adalah seorang pembuat dan pemain sasando. Beberapa waktu sebelumnya memang aku bermaksud menemuinya untuk minta diajarkan bermain sasando.

Kejutan bagi saya ketika Pak Edu Pah dan istrinya menyambut kedatangan kami dengan penuh sukacita. Baru berbasa-basi sedikit, kami langsung dibawa ke kebunnya yang berada di belakang rumah. Area tempat tinggal Pak Pah (begitu aku selanjutnya memanggilnya) sangat luas. Rumahnya sendiri sudah besar, lalu dikelilingi oleh kebun buah yang sangat besar. Segala macam pohon buah ada di sana, termasuk buah matoa asal Papua yang saat itu belum populer. Begitu kami duduk, langsung kami dipetikkan buah kedondong, jambu air, jeruk purut dan jeruk peras. Bahkan, kalau tidak kami tolak dan beliau berpikir akan merepotkan kami untuk membawanya pulang, kami akan dibawakan masing-masing 2 buah kelapa muda.

Selain pohon buah-buahan, di kebun itu ada juga tanaman kangkung, pisang, mangga, coklat, teratai 3 warna, duren, rambutan, 18 jenis pohon jeruk, pandang, kelengkeng...wah tidak ingat lagi. Yang pasti sangat banyak macamnya. Di kebun itu juga ada 3 buah kolam ikan dan isinya bermacam-macam ikan. Kami diajak duduk-duduk di bawah pepohonan dan ngobrol. Selama ngobrol, kami disuguhi kacang goreng dan coklat susu. Aku merasa takjub, Pak Pah dan istri begitu terbuka kepada kami, dan kami merasa betah-betah saja berada di sana.

Pak Pah yang berusia sekitar 60-an saat itu berasal dari Pulau Rote. Beliau adalah seorang seniman dan mempunyai 7 orang anak yang semuanya seniman, ada yang bermain musik, menyanyi dan menari. Beliau-lah yang menata anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah. Informasi ini kudapat dari bincang-bincang akrab sepanjang pagi hingga siang hari itu. Dalam sekejap mata, kami merasa sudah seperti menjadi anak mereka.

Siang harinya kami diajak pergi ke Pantai Lasiana yang berjarak 500 meter dari kediaman Pak Pah. Untuk mencapainya, kami harus menyeberangi Jalan Raya SoE. Kami dibawa ke sana untuk diperlihatkan sasando buatannya yang disimpan di pub-nya di Lasiana. Di pub itu kami dijamu lagi dengan jagung bakar, mi goreng plus telur ceplok. Yang mengejutkan kami, ketika bepapasan teman-temannya di Lasiana, Pak Pah memperkenalkan kami sebabai anak-anaknya yang disekolahkan kedokteran gigi di Pulau Jawa dan baru pulang kembali!

Kami berada di Lasiana hingga pukul 3 siang. Kami pulang ke arah barat sedangkan Pak Pah dan istri ke arah timur. Untuk mendapatkan bemo (istilah orang Kupang untuk angkot), kami harus kembali menyeberangi Jalan Raya SoE. Ada hal mengharukan lagi, kami diantar menyebrangi jalan dan ditunggui sampai kami mendapat bemo.

Perjumpaan pertama yang sangat berkesan. Saat itu aku baru 2 bulan berada di Kupang dan aku mendapat orangtua baru. Rasanya menyenangkan sekali. Setelah itu masih berulang-ulang aku bersama Dewi mampir ke rumahnya, 1 atau 2 kali seminggu untuk belajar sasando. Kenyataannya, hingga selesai masa baktiku di Kupang, aku sama sekali tidak bisa bermain sasando. Sebab aku lebih banyak bermanja-manja kepada orangtuaku daripada belajar. Sekali waktu kami diajari 1 lagu, lalu Pak Pah meninggalkan kami agar kami mempelajari lagunya. Permainan kami begitu bagusnya sehingga Pak Pah keluar karena terkejut dengan perkembangan kemampuan salah satu dari kami! Sebetulnya bukan salah satu dari kami yang trampil, tapi kami berdua memainkannya secara patungan : aku memainkan bagian tangan kanan sedangkan Dewi memainkan bagian tangan kiri....jadilah permainan yang mempesona! Dasar anak nakal .....

Pengalaman bersama Pak Pah merupakan nilai tambah pada masa wajib kerjaku selama 2 tahun di Kupang. Setelah aku pulang ke Jakarta, kami masih melakukan korespondensi. Terakhir, aku mendengar Pak Pah sakit, setelah itu suratku tidak berbalas...bertahun-tahun kemudian hingga saat ini, aku tidak tahu kabar orang tua angkatku itu...
 
Copyright 2009 Kupikir.... Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase