Sabtu, 18 Januari 2014

Kepiting bakau

Untuk pertama kalinya aku makan kepiing bakau menjelang Natal 2013 lalu saat menginap di rumah Emmy Wuwur di Magepanda. Pagi hari sesudah misa, kami ke hutan bakau Baba Akong di Reroroja. Begitu tiba, kami berpapasan dengan anak-anak yang baru pulang menangkap kepiting bakau. Warnanya hitam dan yang istimewa adalah capitnya yang besar. Ngiler melihatnya, aku beli semua kepiting yang mereka bawa. Satu renceng berjumlah 6 kepiting plus 1 kepiting soka.

Bla bla bla...tentang hutan bakau sudah kutulis di sini.

Singkat kata, siangnya kepiting-kepiting itu dimasak. Tadinya Emmy mau membuat bumbu. Kuusulkan direbus saja tanpa perlu bumbu. Rupanya Emmy tidak pernah makan apalagi memasak kepiting. Jadi Emmy muai merebus air. Setelah mendidih, kepiting dimasukkan. Tidak lama, menurutku kepiting sudah matang. Jadi langsung diangkat.

Waktunya makan. Seperti biasa, kupakai ulegan untuk memecahkan cangkang kepiting......ya ampun! Cangkang kepiting bakau ternyata jauh lebih tebal dan keras dibandingkan kepiting pantai, apalagi dibandingkan rajungan! Icip punya icip....kok rasanya pahit ya? Emmy yang belum pernah makan kepiting juga merasakan anehnya rasa kepiting itu. "Ini belum masak. Direbus lagi saja". Jadi kepiting direbus lagi.

Betulll.....setelah direbus lagi ternyata kepiting jadi enak rasanya. Rasa gurih dan manisnya keluar. Rupanya karena cangkangnya yang tebal, panas air perlu waktu lebih lama untuk menembusnya.

Emmy sekeluarga sama sekali tidak mau akan kepiting-kepiting itu. Hanya Florida yang mau ikut makan. Wah......aku biasanya makan 1 kepiting bertiga. Sekarang makan 4 kepiting sendirian. Kolesterooooooolllll......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Kupikir.... Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase